(dimuat di theurbanmama.com) Sudah sejak lama saya terkesan melihat video bayi berenang. Ya, bayi. Usianya mungkin masih empat bulan hingga di bawah satu tahun. Ada pula video mengenai batita yang tercebur ke kolam renang, tetapi berhasil menyelamatkan diri dengan kemampuannya berenang. Saya juga membaca dari beberapa artikel tentang refleks bawaan bayi terkait berenang yaitu refleks menyelam (refleks menahan napas di air) dan bergerak menyerupai berenang. Selama hamil dan mempersiapkan kelahiran Rara, saya juga sering menonton video waterbirth dan memang benar sih, bayi waterbirth saat baru dilahirkan biasanya dibiarkan selama beberapa detik dalam air dan bergerak-gerak seperti berenang, tidak tersedak atau kemasukan air karena menahan nafas. Tetapi jangan disalahartikan bahwa bayi otomatis punya kemampuan berenang ya. Refleks seperti berenang dan bisa berenang adalah dua hal yang berbeda. Bayi baru lahir TIDAK memiliki kemampuan berenang. Jadi di video batita yang bisa berenang menyelamatkan diri itu, saya duga memang sudah dilatih bisa berenang. Saya tertarik untuk melatih bayi berenang, tetapi terlupakan karena belum menemukan tempat belajar berenang untuk batita. Sempat kepikiran juga, apakah akan berlebihan atau tidak ya kecil-kecil sudah belajar berenang. Toh nanti kalau sudah umur lima tahun akan lebih mudah diajar, begitu salah satu bahan pertimbangan saya. Akhirnya ide tersebut muncul lagi dan saya pun mendaftarkan Rara ke Anak Air Swim School. Ternyata sekolah berenang Anak Air menerima anak minimal berusia enam bulan. Dari yang saya baca, AAP (American Academy of Pedicatrics) menyarankan usia minimum untuk belajar berenang adalah usia satu tahun. Namun saat itu Rara sudah berusia 2 tahun, jadi sudah bisa diajarkan untuk berenang. Waktu itu alasan saya akhirnya memasukkan Rara ke kelas berenang selain untuk belajar survival, juga untuk mengoptimalkan stimulasi motorik. Berenang bagi bayi dan batita juga memiliki manfaat lainnya antara lain baik untuk kesehatan jantung, meningkatkan kekuatan paru paru, meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas, meningkatkan stamina, keseimbangan serta postur tubuh. Beberapa artikel lain juga menyebut bahwa belajar berenang bisa meningkatkan IQ anak, tetapi mengenai IQ ini masih berupa klaim dari pihak-pihak yang menawarkan kelas renang atau dari beberapa artikel populer yang sulit dilacak sumber referensinya. Rara sempat pindah kelas renang ke Rockstar Gym karena alasan kepraktisan dan lokasi. Ternyata Rockstar Gym menggunakan standar metoda yang sama dengan Anak Air, yaitu American Red Cross. Bedanya, di Anak Air semua anak belajar privat walaupun durasi hanya sebentar, sedangkan di Rockstar Gym belajarnya dalam grup, kecuali kalau memang mau privat. Adapun semua aktivitas kelas renang harus dilakukan dengan pendamping (kelas Mom & Me). Untuk kelas pemula, tujuannya adalah agar anak terbiasa dalam air, tidak takut serta merasa nyaman dimana aktivitasnya didominasi bernyanyi dan bermain. Di kelas pemula banyak menggunakan bola bola plastik dan mainan yang bisa diraih anak-anak. Untuk pemula seperti Rara, saya merasa Rara lebih cocok beraktivitas dalam grup daripada privat. Anak sekecil Rara rentang fokusnya (attention span) sangat singkat, kalau belajar dalam kelas privat lebih cepat bosan dan tidak ada obyek pengalihan. Adapun dalam kelas grup, kalau Rara merasa capek bisa istirahat sebentar sambil mengamati teman-temannya. Dari mengamati ini kan sebetulnya proses belajar juga. Istirahat bisa dipakai untuk mengamati sambil membujuk. Kalau mood sudah membaik, barulah bergabung lagi dengan grup untuk mengikuti instruksi. Pembelajaran berenang yang serius dalam kelas pemula ini contohnya menggerakkan kaki (gaya bebas), telentang serta memasukkan semua bagian kepala ke dalam air. Belajarnya dilakukan dengan bermain. Misalnya anak disuruh mengejar bola dan mainan yang disebar di kolam, atau memindahkan mainan dari pos satu ke pos lainnya. Permainan ini melibatkan gerakan kaki. Belajar telentang dilakukan dengan berperan tidur dan menyanyikan lullaby. Menurut saya, yang paling keren dan menegangkan dari kelas ini adalah belajar memasukkan kepala ke dalam air. Proses ini juga dilakukan dengan bermain, misalnya menggunakan hoola hoop yang setengahnya masuk ke air, lalu anak dibantu untuk melewati hoola hoop tersebut dengan menyelam kira kira 1 hingga 2 detik. Proses ini tidak boleh dilakukan kalau anaknya kelihatan tidak siap yang biasanya ditandai dengan menangis sampai teriak-teriak atau badannya meronta-ronta ingin kabur. Untuk sampai ke tahap ini, kebanyakan anak perlu mengikuti kelas beberapa kali. Kalau anaknya menangis dan menolak namun tetap dipaksa, malah bisa membuat mereka merasa berenang menjadi hal yang tidak menyenangkan dan bisa-bisa trauma sama air. Saat kelas berenang ini, saya juga mendapati bahwa alat bantu pelampung justru menghalangi proses belajar Rara. Pernah saya bawa pelampung untuk bermain, namun akhirnya Rara malah bergantung dengan pelampung tersebut. Rara menolak untuk meraih tangan saya saat belajar meluncur, malah bersikukuh untuk pegangan ke pelampung. Saat tidak bawa pelampung, mau tidak mau Rara harus mengandalkan badannya sendiri dan tangan saya untuk pegangan. Tangan saya lebih bermanfaat untuk menjaga postur berenangnya agar tetap baik dan membantunya bergerak kesana-kemari. Kunci dari kecepatan belajar batita adalah mood alias suasana hati. Beberapa saat yang lalu moodRara sedang bagus-bagusnnya dan dia sangat senang berada di kolam. Dalam satu kali kelas berenang, saya berhasil membujuk Rara untuk meluncur tanpa support dan memasukkan kepalanya ke air atas kemauannya sendiri. Saya agak kaget juga dengan kemampuan baru itu. Ternyata kalau Rara sedang senang, mudah sekali mengajarinya. Begitu Rara tahu bisa melakukannya, malah ketagihan. Sepertinya Rara baru merasakan enaknya sensasi meluncur di air. Jadi hari itu Rara senang mencoba dan mencoba terus kemampuan barunya. Bagi Urban mama yang mempertimbangkan untuk mengikutkan anak ke kelas berenang, bisa lho melakukan sendiri proses pengenalan aktivitas berenang. Aktivitas yang bisa dilakukan sendiri antara lain bermain lempar-lempar dan mengejar bola plastik di kolam berenang, bermain ciprat-ciprat air dengan tangan atau gerakan kaki, mengalirkan air di kepala dan muka anak (bisa dengan tangan atau ember mini yang bagian dasarnya dilubangi), mencontohkan anak untuk meniup dalam air (mulutnya saja yang masuk air tetapi hidungnya di atas garis permukaan air, nanti lama-lama setelah terbiasa bisa diminta untuk memasukkan hidungnya juga), serta tiduran dengan posisi badan telentang lurus sambil disokong olet tangan Urban mama-papa. Last but not least, banyak yang perlu diketahui sebelum mengajarkan batita berenang. Selain banyak manfaatnya, ada juga batasan-batasannya seperti adanya risiko tenggelam, sensitivitas klorin dari kandungan klorin pada air kolam berenang, risiko hipotermia, hingga risiko kulit terbakar sinar matahari. I believe there are always advantages and disadvantages for everything, jadi silakan Urban mama menimbang baik-baik sebelum memutuskan untuk mengikutkan anak ke kelas berenang. Untuk menghindari risiko tersebut pada anak, penjagaan full time tentu adalah hal yang mutlak. Kalau kelas berenang dilakukan di kolam outdoor, selalu ingat untuk mengoleskan tabir surya ke kulit anak sebelum mulai berenang. Selain itu saya biasanya merasa cukup mengajarkan berenang 30 menit ditambah bermain-main sebentar selama 15 menit. Memang sih, sesekali pernah ada kesulitan untuk mengajak Rara mengakhiri aktivitas main airnya untuk memulai kegiatan belajar, yang akhirnya selesainya lebih lama dari waktu yang dijadwalkan. Pernah juga sampai kesiangan jadi udaranya cukup. Semoga pengalaman ini bisa menjadi bahan strategi di sesi belajar berenang selanjutnya. Referensi:
0 Comments
(Tulisan ini juga diunggah di theurbanmama.com) Akhirnya sampai juga kami ke akhir masa menyusui. Rara berhasil melewati masa-masa ASI eksklusif selama enam bulan dan terus menyusu sampai kini berusia dua tahun. Bagi saya menyusui itu tidak sekadar pemenuhan kebutuhan nutrisi dan imunitas. Menurut saya, menyusui itu:
Tak dapat dipungkiri, ada konsekuensi negatif dari membiarkan anak menyusu kapan saja, termasuk menjadi andalan saat mencari ketenangan. Rara selalu butuh menyusu untuk tidur, dan ini juga bisa menjadi sebab Rara malas makan. Karena ‘ketergantungan’ itu, terkadang saya menjadi tersandera saat mau beraktivitas yang butuh mobilitas. Ini juga menjadi kerepotan tersendiri jika saya harus meninggalkan Rara untuk urusan tertentu. Kakaknya, Raul, dulu tersapih di usia 2tahun kurang 1 bulan. Menyapihnya mudah, cukup hanya menolak menyusui selama 3 hari 3 malam berturut-turut. Setelah itu beres. Tapi 3 hari 3 malam itu benar benar pernuh perjuangan dan air mata. Menyapih anak benar-benar seperti melihat orang sakaw. Membuat patah hati. Saat itu saya merasa itulah yang terbaik yang harus dilakukan, daripada membohongi anak dengan berbagai cara. Tapi pada akhirnya, Raul mengalami apa yang selanjutnya saya baru tahu bahwa itu disebut sebagai regresi. Yang tadinya sudah tidak mengompol saat malam hari, lalu jadimengompol lagi. Saya tidak tahu ada hubungannya atau tidak, tapi Raul sangat tertutup dan takut dengan orang lain waktu itu. Jadi untuk Rara, saya berniat untuk melakukan Weaning With Love (WWL). Weaning With Love, saya artikan sebagai proses penyapihan yang membutuhkan persetujuan dan kesiapan psikologis dari kedua belah pihak. Ibunya siap, sudah tidak galau, anaknya juga sudah siap melepaskan diri dari menyusui. Proses ini akan terjadi sendirinya. Yang harus dilakukan hanya memperbanyak komunikasi dan membangun kesiapan anak untuk tahapan hidupnya selanjutnya. Proses menyusui adalah juga tentang pemenuhan kebutuhan psikologis pada fase tertentu, yang tidak secara ketat memiliki batasan umur. Jika pada usia 2 tahun sudah dihentikan sepihak, siapa tahu ada kebutuhan lain yang belum terselesaikan untuk dipenuhi. Namun, sebagaimana proses kelahiran yang terkadang harus mendapat intervensi karena mengalami komplikasi, sepertinya saya dan Rara juga mengalami ‘komplikasi’ tersebut. Rara adalah anak dengan tren pertumbuhan yang ada di bawah persentil terbawah kurva pertumbuhan WHO. Sejak lahir, panjangnya saja sudah termasuk ‘pendek’ (walaupun beratnya normal). Tingginya awalnya ada di garis persentil 3% (yang terbawah kalau menurut kurva WHO). Sedangkan beratnya agak sedikit di bawah persentil 50%. (garis hijau, yang tengah). Dalam perjalanan pertumbuhannya, beratnya berpindah ke persentil di bawahnya, lalu ke bawahnya lagi (sekarang di garis persentil 5%). Beberapa tes telah dilakukan. Menurut dokter, selama dua tahun ini tidak ada yang bisa dilakukan selain menjaga gizinya. Hal itu membuat saya mempertimbangkan kembali masalah Weaning With Love, karena nyatanya Rara memang makannya tidak teratur dan sedikit-sedikit minta menyusu. Harapan saya, kalau Rara sudah tidak menyusu, makannya akan menjadi normal. Tapi untuk menghindari penyapihan mendadak seperti yang Raul alami, saya memutuskan untuk melakukan penyapihan secara bertahap. Saya kurangi frekuensi menyusui Rara. Memang tidak berdasarkan kesediaan kedua belah pihak. Prosesnya makan waktu lebih lama. Tapi kalau saya perhatikan, prosesnya tidak sedramatis yang Raul alami. Kalau saya lihat Rara benar-benar butuh menyusu, akan saya berikan. Saya akan bertahan tidak menyusui jika Rara juga bisa mengatasi keinginannya sendiri setelah beberapa waktu. Ternyata memang ada saat-saat Rara tidak benar-benar perlu menyusu, tapi hanya kebiasaan iseng saja, dan ternyata mudah dialihkan. Memang proses ini membuat capek, tapi ada hasilnya. Alhamdulillah, mungkin sudah 1 bulan lebih Rara tidak menyusu lagi. Tidak ada drama memilukan. Payudara saya juga tidak pernah bengkak seperti yang terjadi waktu menyapih kakaknya. Harus diakui saya masih merindukan menyusu dan kadang-kadang Rara masih seperti mau minta. Setelah disapih, Rara makannya sekarang lahap sekali, kadang minta nambah berkali-kali dan pipinya juga makin berisi. Memang sih, belum terlalu nyata terlihat perbaikan di tinggi badannya. Mungkin perlu waktu saja. |
PENULISRika Widjono ARSIP
July 2020
KATEGORI |