Lewat 2 buah pertanyaan besar, kelas hari ini diawali. Pertanyaan mendasar itu adalah ‘pendidikan itu apa sih’ dan ‘pengen punya anak seperti apa sih’?
Sesi ini membahas 2 buah pilar pendidikan CM. Pilar ini adalah syarat pendidikan/instrumen. Pendidikan adalah atmosfer Prinsip ini akan sangat berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya, yaitu ingin punya anak seperti apa? Jika kita ingin anak memiliki karakter A B C D, maka sudahkah kita orang tua menjadi seperti itu? Bagaimana kita menjadi pribadi yang menjalani hidup, adalah atmosfer bagi anak. Atmosfer tidak bisa direkayasa. Misalnya mau melatih anak suka buku, tidak bisa kita sebagai orang tua berpura pura suka buku. Satu satunya cara adalah kita harus suka buku juga. Atmosfer dalam hal ini bukan berarti anak diisolasi dalam lingkungan yang dianggap menguntungkan dan menyenangkan baginya, melainkan kita perlu menaruhnya dalam lingkungan yang tepat, yaitu lingkungan yang alami apa adanya, dengan relasi apa adanya serta tidak dibuat buat, dan juga layak. Atmosfer itu memancar begitu saja dari manusia dan benda, dibumbui cinta dan logika. Sekolah bisa saja punya kurikulum yang keren. Tapi yang akan menjadi proses pendidikan yang sangat berpengaruh adalah atmosfer: sesederhana warna dinding, musik yang mengalun, guru yang ramah. Tidak perlu melebih lebihkan peran yang akibatnya jadi menindas kepribadian anak sehingga lingkungannya menjadi artifisial. Artifisial adalah lingkungan yang dibuat buat, seperti menaruh anak di ruang kaca yang memang terkondisikan selalu menguntungkan anak, tapi akibatnya anak anak bisa bertumbuh ringkih. Alami adalah membiarkan anak bebas, namun terawasi dan terkondisikan sewajarnya. Saya jadi teringat dengan bagaimana imunitas tubuh terjadi. Tubuh manusia perlu mengenal sewajarnya penyakit yang ada di sekitarnya, kuman dan bakteri yang ada di tanah dan udara. Dengan itu tubuhnya pun bisa semakin kuat. Nah, walaupun prinsip pendidikan adalah atmosfer ini pro membebaskan anak secara alami, namun ada prinsip lain juga untuk memberikan batas, yaitu: Pendidikan adalah Disiplin Pendidikan adalah Disiplin Anak terlahir sebagai sosok pribadi tersendiri. Kebiasaan 10 kali lebih kuat membentu karakter dari bawaan lahir. Kebiasaan itu bagaikan api, bisa jadi baik efeknya, bisa pula buruk. Ketika kebiasaan buruk yang terbentuk, bayangkan ketika ini 10 kali lebih kuat membentuk karakter, bisa saja anak kelak menjadi sampah masyarakat. Naudzubillah. Misalnya anak yang cenderung aktif, dia bisa kok tenang dan diam, tapi harus latihan. Maka ada habit training. Disiplin ini akan terkait dengan masa depan anak, karena secara hubungan sebab akibat, ‘nasib’ bisa didapat dari pembentukan karakter yang baik. Maksud disiplin adalah pembentukan kebiasaan yang penuh pertimbangan. Ternyata, struktur otak bisa berubah mengikuti kebiasaan. Pada Abad 18, pengasuhan didominasi oleh hukuman, anak dipaksa berbuat baik, jika tidak maka dihukum. Namun saat ini, pendidikan bergerak ke sisi lainnya. Padahal kita hanya perlu menuju ke tengah. Pendidikan ibarat membangun rel kereta api menuju destinasi tertentu. Kebiasaan bagaikan api, bisa baik bisa pula buruk. Jika buruk, maka berpotensi menjadi sampah masyarakat. Kebiasaan baik pun bisa muncul dari konflik. Berhubungan dengan atmosfer natural, bayangkan saja ketika orang tua misalnya ibu sedang mengalami hal sedih. Dalam lingkungan yang direkayasa, bisa saja ibu mengkondisikan agar anaknya tidak melihatnya bersedih, hanya melihat yang bahagia bahagia saja, agar ia tak ikut bersedih. Namun bayangkan pula kondisi sebaliknya, jika ibu mengizinkan dirinya untuk menunjukkan emosi apa adanya termasuk rasa sedih, maka anak akan mendapatkan input baru yang membuatnya merespon hal tersebut. Responnya bisa jadi menghibur, menawarkan bantuan, dan yang semacamnya. Inilah yang dimaksud kebiasaan baik bisa muncul dari konflik.
0 Comments
![]() Kelas Dasar Pendidikan Charlotte Mason bersama mbak Ayu Primadini NARASI Pertemuan 1 Satu hal yang mendasar dalam pendidikan: Manusia itu apa sih? CM menentang anggapan bahwa manusia dianggap biologis semata, mencari uang dan materialistik. Konsep manusia seperti ini yang disebut sebagai utilitarian. Inilah awal mula lemahnya karakter. Konsep ini muncul mendominasi dalam dunia pendidikan diawali pada saat Perang Dunia I. Pada saat perang, banyak kesulitan muncul dalam hidup sehingga ekonomi perlu ditingkatkan. Adapun agar ekonomi dapat ditingkatkan, maka tujuan ini perlu ditopang oleh pendidikan. Maka muncullah pendidikan yang bertujuan meningkatkan ekonomi. Pemikiran ini didukung oleh Karl Marx yang mengatakan bahwa edukasi dan ekonomi perlu disatukan. Hal ini dikritik oleh CM. Saat itu kapitalisme mendominasi, otomatis muncul konsumerisme, lalu menjadi individualisme. Gimana tuh alurnya? Coba kita perhatikan masyarakat yang hidup secara komunal. Dalam sistem ini, kepemilikan modal tidak terlalu relevan untuk hidup. Anggota kelompok masyarakat saling bantu membantu untuk memenuhi hajat hidupnya. Kapitalisme menyebabkan penguasaan bidang tertentu oleh individu atau kelompok. Selanjutnya masyarakat menjadi butuh uang untuk memenuhi kebutuhan, atau mungkin keinginan (yang berkedok kebutuhan, karena terkadang kebutuhan diatur oleh iklan kan, hehe). Akibatnya, manusia hidup untuk dirinya masing masing, bekerja, dapat uang, lalu belanja kebutuhannya masing masing. Kebersamaan dalam masyarakat semakin sulit. Akhirnya untuk bisa bertahan, manusia cenderung terjebak harus jadi 'pemenang, yaitu yang memiliki modal atau uang. Dengan kondisi tersebut, muncullah pendidikan meritokrasi, yaitu pendidikan individualis, mencari nilai bagus untuk menjadi berharga. Seseorang menjadi berharga jika menelurkan prestasi yang sifatnya materi. Dalam dunia industri, keberadaan manusia jadi seperti mesin, karena tujuannya hanya 'menang' dalam ukuran kapitalisme. Kelak, manusia menjadi suku cadang industri, bisa diganti ganti. Ini berbeda sekali dengan ukuran CM. Bagi CM, tujuan pendidikan adalah : menjadi manusia yang magnanimous. Terminologi bahasa Indonesianya: Insan Kamil. Manusia yang terbaik adalah yang menggunakan segenap potensinya untuk bermanfaat bagi umat manusia. Insan Kamil ini adalah manusia yang berimajinasi berbudaya (maksudnya bebas dan kreatif dalam pikiran namun tetap dalam koridor/batasan yang dipegang), memiliki kemampuan terlatih menilai dan menimbang, selalu siap menguasai kerumitan profaesi apa pun, tahu menempatkan dirinya sendiri dan bagaimana memanfaaatkan segala kelebihannya untuk meningkatkan kebahagiaannya kebahagiaan sesamanya,dan kesejahteraan masyarakatnya – satu sosok yang bukan cuma bisa mencari nafkah hidup, tapi tahu bagaimana caranya hidup. Rahmatan lil 'Aalamiin. Jadi, sebelum move on, kita harus menentukan dulu arah pendidikan ke mana. Visinya ke mana? Caranya bagaimana? Kalau visinya sudah cocok dengan CM, lanjut deh. Selanjutnya, kita harus juga memperhatikan hal yang disebut oleh M. Scott Peck dalam The Road Travel: “Kita suka ngga sadar, kita pikir kita berfilosofi A, tapi cara hidup kita jauh darinya” Ungkapan M Scott Peck tersebut bisa jadi banyak ditemui. Kita sudah punya visi yang ajeg, mengumpulkan sumber daya dan referensi untuk mendukung terwujudnya visi, namun pada kenyataannya terkadang kita tidqk sedang berjalan ke sana. Bisa jadi disebabkan karena dorongan mammal dan reptil brain nya lebih besar daripada human brain yang merencanakan visi misi. Ini adalah gambaran bagian otak manusia. Limbik adalah sistem emosi (perasa). Reptilian adalah sistem fight or flight. Neokorteks adalah otak berpikir, yang dimiliki manusia. Nah, karena kita punya neokorteks, harusnya bisa bersikap human, tapi seringkali mammal dan reptilian nya lebih besar. Misalnya tiba tiba tersulut emosi dan mengambil tindakan yang tidak dipikirkan secara matang. Maka langkah selanjutnya yang harus ditekankan adalah selalu mengevaluasi apakah pola hidup kita sudah sejalan dengan visi. Itulah sebabnya kita perlu sering sering refleksi. Menuju magnanimous bisa jadi perlu waktu seumur hidup. Prinsip CM #1 Children are Born Person
CM bukan children centered, bukan pula teacher centered, melainkan TRUTH CENTERED. Jadi, tugas orang tua adalah untuk mendidik, dan menjadi perpanjangan tangan Allah atau hukum kebenaran. Kekuasaan orang tua terbatas pada prinsip kebenaran. Semangaaatt!! |
PENULISRika Widjono ARSIP
July 2020
KATEGORI |