Quranic Essence of Parenting Khutbah ini ditujukan kepada orang tua dan juga sebagai anak. Allah menjelaskan banyak mengenai relasi orang tua dan anak dalam Quran. Alih alih banyak menjelaskan teori, Allah banyak menggunakan contoh contoh, studi kasus. Contoh kasus Ibrahim AS, yang ayahnya membuat dan menyembah berhala dan juga merupakan tokoh di masyakarakatnya. Anak orang ini ternyata tumbuh menjadi Bapaknya konsep tauhid, bahkan Islam disebut sebagai agama ayahmu Ibrahim. Bayangkan, di satu sisi ada seorang Ayah yang ‘ngaco’, ternyata anaknya luar biasa. Dan kondisi lingkungannya juga bukan kondisi yang baik dan kondusif. Orang orang di sekitarnya menyembah berhala. Tidak ada yang berpikir sepertinya. Maka Ibrahim saat itu dianggap sebagai pemberontak. Hal ini menunjukkan bahwa menjadi baik tidaknya seorang manusia, tidak selalu tergantung kepada lingkungannya. Bisa saja ada ungkapan “Gimana lagi.. lingkungannya begini” “Gimana lagi… anaknya sekolah di sekolah umum di Amerika, tentu mereka akan terpengaruh”. Ya, memang hal tersebut tidak bisa sepenuhinya dipungkiri juga, namun Allah memiliki maksud memberikan contoh contoh seperti kisah Ibrahim. Allah hendak memberi pesan bahwa setiap manusia, terlepas dari bagaimanapun kondisi lingkungannya, memiliki kemampuan untuk berpikir tentang dirinya. Maka jika seseorang memilih untuk mengikuti lingkungannya dan tidak berpikir, maka itu merupakan tanggungjawab mereka sendiri. “Aku bisa apa lagi, aku kan tinggal di lingkungan yang membuatku tidak bisa melihat kebenaran” Tidak demikian, Allah memberimu ‘mata’. Allah memberimu kemampuan untuk melihat sendiri. Nah, hal yang sebaliknya dari kisah Nabi Ibrahim juga terjadi. Dan ini dicontohkan dalam kisah Nabi Ya’qub. Ya’qub adalah seorang Nabi. Seorang Nabi kita percayai memiliki sifat yang baik, adil, ihsan, terhadap semua orang, apalagi keluarganya sendiri. Beliau memiliki ‘sekelompok’ anak baik dan ‘sekelompok’ anak yang jahat. Padahal kalau dipikir, geng anak anak yang jahat tinggal dengan Nabi Ya’qub dalam waktu yang lama dan merasakan mendapatkan pendidikan dalam waktu yang lama. Adapun Nabi Yusuf (anak yang baik), terpisah dari ayahnya di umur yang sangat muda, dan kemudian masuk ke dalam lingkungan yang lebih buruk lagi, tumbuh dewasa dengan tanpa mendapatkan pendidikan ayahnya, berada di dalam rumah seorang politisi tanpa pengawasan orangtua, bahkan mendapatkan kesempatan untuk berbuat dosa. Bahkan setelah itu Yusuf pun masuk ke dalam yang lingkungan yang lebih buruk lagi, yaitu penjara. Bisa dibayangkan, sebenarnya sangat mungkin orang yang hidup dalam lingkungan yang sangat buruk, toksik, akan mendapatkan pengaruh kuat dari lingkungannya tersebut dan menjadi orang yang buruk. Bandingkan dengan saudara saudaranya yang lain yang mendapatkan kesempatan terbaik untuk mendapatkan pendidikan dari orangtuanya. Bayangkan saja, ayah mereka adalah seorang Nabi. Tidak ada kesempatan mendapatkan didikan terbaik selain dari seorang Nabi. Pada akhirnya, anak anak ini berbohong, backbiting, mereka melakukan ini selama bertahun tahun. Di akhir surat Al Kahf kita menemukan contoh lain lagi. Ada seorang pria muda yang bermata pencaharian mencari ikan. Nah, setelah kisah seseorang yang mencari mata pencaharian dengan jujur, muncul 2 kisah lain. Yaitu kisah anak kecil yang dibunuh, karena saat dewasanya dia akan tumbuh menjadi teror bagi kedua orangtuanya yang merupakan orang orang soleh. Pesan dari seluruh kisah ini adalah, dalam kehidupan ini, dalam hal pengasuhan, kita tidak punya kontrol SAMA SEKALI. Kita hanya memiliki TANGGUNGJAWAB. Dan kita harus bisa membedakan antara dua hal ini (Kontrol, dan Tanggung Jawab). Saya punya tanggungjawab pada orang tua. Saya tidak bisa mengontrol orangtua. Saya punya tanggungjawab anak hingga usia tertentu. Saat anak anak baligh, mereka bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Maka ketika hari pengadilan, Allah akan bertanya kepada mereka langsung mengenai perbuatannya setelah baligh, bukan ke orang tuanya. Ketika kita mengasuh anak hingga usia tertentu, cinta kita sebagai orang tua tidak berubah, doa kita tidak berubah, perhatian kita tidak berubah, harapan kita akan kehidupan baik mereka tidak berubah. Namun, Allah tidak menimpakan tanggungjawab pada kita sebagai orang tua, atas kesalahan yang anak anak kita lakukan. Kita sudah memberikan yang terbaik, memberikan nasehat dan masukan, maka setelah itu kita harus mundur dan mengizinkan anak anak kita mengambil keputusannya sendiri. Rasulullah SAW pun melakukan ini. Beliau berkata pada Fatimah :” Wahai Fatimah binti Muhammad, bertaqwalah kepada Allah. Aku tidak punya wewenang terhadapmu di hadapan Allah” Kita mungkin tidak bisa mengubah lingkungan, maka kita juga tidak bisa berharap anak anak menjadi sempurna. Jangan juga kita frustasi kalau suatu saat anak anak membuat keputusan buruk. Mereka bisa membuat keputusan buruk, seperti halnya kita orang tua juga pernah membuat keputusan buruk. Anak anak kita bisa jadi ‘bikin pusing’ kita sebagai orang tuanya. Tapi kita juga pernah ‘bikin pusing’ orang tua kita kok. Anak adalah amanah dari Allah. Yang jadi fokus adalah bagaimana kita membesarkan anak. Apakah kita melakukan tugas tugas kita. Itu saja. Sisanya, dia menjadi anak baik atau tidak, akan menjadi urusan anak ini dengan Allah. Ada cerita di mana orang tua sudah merasa memberikan yang terbaik, menjadikan anak menghafal Quran, ngasi les ngaji dll. Bahkan ada orang tua yang rela melepaskan bisnisnya demi pindah ke tempat lain, untuk menempatkan anak dalam komunitas yang kondusif. Anak ini tumbuh menjadi anak yang hormat pada orang tua, penyayang, namun tiba tiba saja secara tak terduga, anak ini tidak shalat lagi, lalu suka menantang orangtuanya, juga pulang malam. Kejadian ini sangat banyak terjadi. Saya juga mendapati ada anak yang memukul ibunya, mengancam, mengutuk, mencuri dari orangtuanya Dia berfirman: walladzii qaala liwaalidaiHi uffil lakumaa (“dan orang-orang yang berkata kepada kedua orang tuanya [ibu dan bapaknya], ‘cis bagi kamu berdua.’”) “Ufillakuma” terjemahannya adalah ‘cis’ atau ‘ahh’, bisa digambarkan seperti ekspresi “sudah cukup!! Cukup aku dengar kalian” Selanjutnya, respon dari orang tua bisa jadi adalah keputusasaan. Anak ini, yang sudah dibesarkan dengan penuh perjuangan, tiba tiba berubah. Banyak terjadi orang tua lalu mengutuk balik karena lelah. Orangtua terpancing untuk mengucapkan kata kata yang sangat buruk. Kisah semacam ini digambarkan dalam Quran dan menjadi kisah yang tipikal dalam perjalanan sejarah manusia: Orangtua yang rajin memberi nasehat, pesan Quran, anak anak yang muak, lalu meminta orangtuanya untuk menghentikannya dan merasa tidak membutuhkannya. Bagi anak, pahamilah jika kamu melakukan hal seperti ini, kamu mungkin merasa memperjuangkan kebahagiaanmu, kamu merasa kondisimu unik sampai tidak ada yang bisa memahamimu, ketahuilah bahwa sikap jahat terhadap orang tua, bukanlah kejahatan kecil. Menyakiti orang tua, membangkang, kabur dari orang tua, kamu melakukan apapun yang kamu mau, berpikir bahwa kamu menjalani hidupmu sendiri, kamu tidak akan menang, kamu tidak akan bahagia dengan cara menyakiti orangtuamu. You will always be a loser. Merasa memiliki keraguan itu tidak apa apa. Mempertanyakan agamamu, itu tidak apa apa. Tapi jika itu dilakukan dengan menyakiti orangtua, itu hal yang sangat buruk. Mungkin keburukan yang dilakukan tidak seekstrim dalam kasus yang digambarkan ini. Allah pun menjelaskan, bahwa ada level levelnya. Kita semua akan bertanggungjawab sesuai dengan ‘level’ yang kita lakukan. Bagi orang tua, ini realitas yang dihadapi bahkan oleh para Nabi. Dalam ayat, ada indikasi. Saat anak kita beranjak dewasa, 15, 18, 19, 25 tahun, mereka adalah orang dewasa. Ok mungkin mereka ada yang dewasa namun kekanakan, tapi tetap saja, mereka adalah orang dewasa. Jika orang dewasa melakukan kesalahan, apa peran kita? Apa tugas kita? Tugas pengasuhan kita hanya sampai usia baligh. Jika mereka sudah dewasa dan kita masih saja sibuk memberitahu apa yang harus mereka lakukan, memnyuruh mereka ayo shalat ayo shalat, maka mereka akan semakin menjauh dan merasa terganggu. “Lho jadi kita musti gimana lagi? Kan kita musti berdakwah” Nyatanya, cara kita berdakwah membuat keadaan lebih buruk lagi. Ada 2 tipe hubungan orangtua-anak saat anak dewasa. Ada hubungan spiritual guiding, seperti misalnya kita mencoba memberi nasehat. Ada pula hubungan emosional: seorang ibu tetap seorang ibu, yang menyayangi anaknya. Ini adalah 2 hubungan yang berbeda. Ketika seorang anak berpaling dari agamanya, anak ini tidak sedang butuh da’i, dia lebih membutuhkan peran emosional orang tuanya, yang menyayangi anaknya tanpa syarat. Coba misalnya ada anak bermasalah yang sudah tidak berkunjung ke orang tuanya, lalu tiba tiba datang. Dia tidak butuh didakwahi. Tahan dulu dakwahnya. Sekarang kita balik ke kisah Nabi Ya’qub. Saat anak anaknya membawa baju Yusuf yang penuh darah, Nabi Ya’qub tahu bahwa anak anaknya sedang berbohong. Tapi dia memahami bahwa pada saat ini tidak ada yang bisa dilakukan. Anak anak ini adalah sebetulnya seperti anak usia dewasa yang sedang memberontak. Maka pada Surat Yusuf: 18, Nabi Ya’qub berkata bahwa bersabar adalah yang paling tepat saat ini. Ketahuilah, bahawa kesulitan yang kita alami sewaktu anak masih kecil, bangun tengah malam, ganti popok, beranjak ke rumah sakit saat anak demam, menurus sekolah, dll, kesulitan itu jauh lebih mudah dibandingkan ‘menujukkan keindahan bersabar’ dan mungkin saat ini kita perlu mencari sumber lain untuk memberinya masukan. Maka saat anak anak menjadi pemberontak, saat ini coba jadilah orang tua yang memenuhi peran emosional. Jangan mencoba menceramahi dulu karena hal ini bisa menjauhkan mereka lagi. Pada kasus Luqman yang direkam dalam Al Quran, kalimat “Yaa Anakku, jangan sekutukan Allah” tidak disampaikan begitu saja. Dia melihat waktu, menunggu kondisi yang tepat, sebelum menyampaikannya. Sering terjadi mereka menjauhi agama bukan karena mereka tidak mempercayainya, tapi karena muak dengan orangtuanya. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang lebih bijaksana, menjadikan hati kita dan anak anak kita lebih lembut. Semoga Allah meringankan cobaan yang dialami keluarga, menjadikan anak anak mereka petunjuk,kepekaan terhadap kebaikan dan segera bertaubat.
0 Comments
Leave a Reply. |
PENULISRika Widjono ARSIP
July 2020
KATEGORI |