Selain alasan alasan untuk mengusahakan persalinan pervaginam, ada tambahan juga untuk mengusahakan agar spontan alami. Yang dimaksud alami adalah meminimalisir intervensi medis jika tidak ada indikasi harus dilakukan intervensi (selain operasi), seperti induksi dengan aneka metoda, infus, penghilang rasa sakit (epidural), episiotomi, kristeller.
1. Menunggu kontraksi datang secara alami (tidak mempercepat dengan induksi, atau terminasi dengan operasi) jika tidak ada indikasi komplikasi Proses matangnya paru paru dan otak bayi terjadi di akhir kehamilan, yang menurut ACOG adalah sekitar usia kandungan 39 minggu hingga hampir 41 minggu[1]. Perhatikan bahwa matangnya organ ini memiliki rentang, jadi waktu matangnya bisa berbeda satu bayi dan bayi yang lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penilaian terhadap usia kandungan seorang ibu juga memiliki rentang galat (bisa jadi di dokter A perhitungannya 38 minggu dan di dokter B 39 minggu, tergantung akurasi alat USG dan akurasi informasi Ibu mengenai HPHT). Ketidakpastian inilah yang menjadi alasan lebih baik kita menentukan kapan yang disebut dengan akhir kehamilan, berdasarkan tanda dari alam, yaitu kontraksi spontan. Bayi yang dilahirkan melalui persalinan elective caesarean (sebelum 39 minggu) memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami (paru paru basah). Dalam hal perkembangan otak, sebuah penelitian menyatakan bahwa umur kandungan saat bayi dilahirkan (gestational age) berhubungan dengan kecerdasan anak. Lingkungan dalam rahim memberikan dukungan optimal pada perkembangan otak, dan ini bisa terganggu apabila anak anak dilahirkan lebih awal dari yang seharusnya[2]. 2. Menjaga orkestra hormon berjalan dengan lancar: Tidak memasukkan zat dari luar yang bisa mengintervensi kerja hormon, seperti induksi, menjaga mood dan perasaan Ibu. Dalam proses persalinan, terjadi orkestra hormon, yaitu kerja berbagai jenis hormon yang diproduksi alamiah oleh tubuh untuk mendukung proses persalinan. Hormon hormon ini ada yang bekerja sama sinergis, maupun antagonis (berlawanan). Munculnya hormon hormon ini pun terjadi di waktu yang berbeda beda, muncul tepat saat dibutuhkan. Ada pula hormon tertentu yang munculnya distimulasi hormon lainnya. Selain hormon, yang berperan penting adalah reseptor (penerima) hormon. Hormon dan reseptornya bekerja seperti 2 keping puzzle yang saling cocok. Adapula hormon yang memang berperan untuk memfasilitasi munculnya reseptor bagi hormon yang lain, misalnya estrogen yang meningkat menyebabkan reseptor hormon oksitosin meningkat dan semakin sensitif. Secara umum, keseluruhan hormon saling berhubungan. Gangguan atau intervensi pada kerja hormon, akan membuat kealamiahan kerja hormon pun menjadi terganggu. Sebagai contoh, pemberian hormon oksitosin sintetis untuk mempercepat persalinan (disebut dengan induksi). Oksitosin alami bekerja melalui mekanisme Fergusson Reflex, dikeluarkan berkala, sehingga kontraksi dialami berkala, dalam frekuensi tertentu, durasi tertentu, kemudian frekuensi semakin merapat. Sedangkan oksitosin sintetis, pemberiannya dilakukan melalui infus, sehingga konsentrasi hormon masuk terjadi terus menerus. Pada kontraksi alami, oksitosin bekerja dalam harmoni dengan beta endorfin (hormon pereda nyeri), oksitosin yang meningkat memberi pesan agar endorfin dikeluarkan. Sebaliknya keberadaan endorfin meregulasi oksitosin. Hubungan ini tidak terjadi dengan oksitosin sintetis, bahkan oksitosin sintetis bisa menghambat beta endorfin. Maka, proses induksi dengan oksitosin sintetis dikenal lebih menyakitkan. Singkatnya, interupsi dari luar terhadap persalinan bisa mengakibatkan orkestra hormon tidak dapat menghasilkan ‘harmoni’ yang diharapkan. Persalinan yang terhambat ini akan mengundang tindakan tindakan yang lain, sehingga pengalaman menjadi semakin tidak menyenangkan bagi Ibu. 3. Persalinan alami mempermudah kelancaran proses menyusui Kelancaran proses menyusui ini berhubungan juga dengan orkestra hormon. Saat proses persalinan, hormon oksitosin dihasilkan untuk membuat rahim berkontraksi. Seiring dengan semakin kuatnya kontraksi, hormon endorfin (hormon pereda rasa sakit)dihasilkan. Level endorfin yang tinggi membantu Ibu untuk mampu menahan rasa sakit, dan membantu Ibu untuk lebih fokus pada instingnya. Ketika bayi semakin turun, katekolamin dihasilkan. Katekolamin berperan dalam refleks mengeluarkan bayi, menjadi untuk Ibu, juga untuk bayi, sehingga hasilnya adalah ibu yang masih bersemangat dan bayi yang aktif. Ibu yang antusias dan bayi yang aktif sangat penting untuk inisiasi menyusu. Intervensi seperti induksi bisa mengganggu kealamiahan kerja hormon dan bisa menurunkan kesempatan menyusui dan menghambat sinergi dengan hormon prolaktin, yaitu yang memproduksi air susu[3]. Selain itu, dalam sebuah penelitian, Ibu yang diberi induksi oksitosin dan dikombinasikan dengan epidural mengalami kondisi level hormon oksitosin yang rendah saat menyusui. Secara umum, jumlah oksitosin sintetis yang diberikan selama persalinan memiliki korelasi negatif dengan level oksitosin sekitar 2 hari setelah persalinan[4]. Selain induksi dan epidural, secara umum banyak tindakan medis memberi tambahan ketidaknyamanan pada Ibu. Padahal, kondisi nyaman dan bahagia bagi ibu adalah syarat orkestra hormon berjalan dengan lancar. 4. Trauma Persalinan bagi Ibu dan Bayi Trauma persalinan, ada yang bersifat fisik, ada yang bersifat psikologis, yang bisa dialami oleh ibu maupun bayi. Kata “trauma” dalam dunia persalinan medis, memiliki asosiasi trauma fisik. Beberapa contoh intervensi yang berisiko memberikan trauma fisik misalnya forcep, vakum, dan kristeller. Adapun trauma psikologis bagi ibu, atau disebut Traumatic Childbirth, adalah situasi di mana Ibu mengalami tekanan psikologis akibat cedera yang Ibu atau bayi alami, atau rasa sakit atau kesedihan mendalam, yang menimbulkan efek psikologis dan/ atau fisik yang berkepanjangan.[5] Beberapa efek psikologisnya antara lain PTSD, dan hilangnya bonding dengan anak. Otto Rank, seorang psikoanalis menyebutkan bahwa semua manusia mengalami trauma dari proses dia dilahirkan melalui mekanisme yang sulit dihindari, yaitu pemisahan secara fisik dan psikis dari ibu. Rank mempercayai bahwa momen kelahiran,yaitu perpindahan lingkungan menuju situasi yang tidak menyenangkan akibat proses kelahiran, adalah pengalaman kecemasan pertama yang dialami manusia. Pengalaman ini, menjadi fondasi dari segala kecemasan yang akan dialami sepanjang hidup manusia[6]. Jadi bisa disimpulkan, segala kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami Ibu dan bayi, akan berpotensi menimbulkan trauma. William Emerson, seorang psikolog perinatal, menyatakan dari beberapa studi, ada 30% ibu mengalami trauma persalinan dan hingga 18% mengalami PTSD pertama setelah persalinan. Beberapa peneliti menemukan bahwa antara 30-90% bayi mengalami trauma larena proses kelahirannya, dan penyebabnya antara lain aneka intervensi medis. [7] Membiarkan proses persalinan apa adanya, menghindari segala tindakan yang tidak menyenangkan memberikan dukungan emosional terbaik kepada Ibu, adalah cara untuk menjadikan proses transisi bagi Ibu dan bayi selembut mungkin. Bayi yang lahir dengan minim trauma, diharapkan akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat. Intervensi medis diharapkan hanya dilakukan jika manfaatnya lebih besar daripada risikonya, misalnya pada situasi di mana Ibu mengalami penyulit yang membuat proses alaminya terhambat sehingga risiko trauma justru meningkat pada kondisi dengan penyulit ini. [1]http://www.acog.org/About-ACOG/News-Room/News-Releases/2013/Ob-Gyns-Redefine-Meaning-of-Term-Pregnancy [2] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3408682/ [3] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1595228/ [4]http://scholarship.claremont.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1112&context=scripps_theses [5] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3950773/ [6] https://www.psychologytoday.com/blog/the-trauma-addiction-connection/201109/are-we-born-trauma [7] http://emersonbirthrx.com/wp-content/uploads/2011/01/2010SpringCranialWave.pdf
0 Comments
|
AuthorRika Widjono ARSIP
December 2022
KATEGORI |