Beberapa kali mendapati opini bahwa tidak perlu ada Doula dalam persalinan, yang datangnya dari profesi sesama Childbirth Professional. Bahkan, ada pihak yang menyayangkan ketika ada bidan yang mengambil pelatihan Doula segala, karena menganggap sebetulnya lingkup Doula ada di dalam job description bidan.
Well, saya menemui opini opini semacam ini di berbagai bidang yang pernah saya pelajari. Bukan hal baru. Mulai dari jurusan kuliah saya (Teknik Lingkungan) yang dianggap sebenarnya sudah ada di jurusan lain, sedikit Teknik Sipil, sedikit Teknik Kimia, sedikit Biologi. Saat ini juga saya terjun belajar menjadi pelatih kebugaran, sebagai supporting knowledge saya sebagai Doula, yang mana bahasannya sangat beririsan dengan fisioterapi dan kedokteran olahraga. Doula juga biasanya belajar hypnobirthing, bagian dari hipnoterapi, yang beririsan dengan psikologi. Kalau mau dilanjutkan, daftarnya akan panjang sekali. Tapi dari aneka profesi yang beririsan ini, saya rasa tidak perlu ada yang menganggap mengambil lahan orang lain atau semacamnya, atau mengecilkan yang lain, misalnya profesi yang tidak tinggi levelnya karena tidak ditempuh melalui strata yang sama. Sungguh. Itu tidak perlu. Profesi Doula memang tergolong baru. Karena baru, maka tanpa perannya, persalinan toh tetap terjadi dan dianggap baik baik saja. Namun, sebaiknya perlu direnungkan juga bahwa munculnya profesi ini pun sebenarnya karena ternyata ada gap kebutuhan ibu dalam persalinan yang tidak terpenuhi oleh anggota keluarga maupun tenaga medis. Secara umum, demikian realitanya. Titik berat profesi Doula adalah memenuhi fungsi continuous support terhadap ibu bersalin, sebuah peran yang dianggap penting dan terbukti memiliki manfaat terhadap berbagai parameter keluaran persalinan. Yang saya dengar dari rekan bidan, sebenarnya fungsi ini memang benar juga seharusnya dijalani juga oleh bidan, istilahnya continuity of care . Bidan juga seharusnya senantiasa menemani, ibu, menenangkan, memberikan dukungan, dll. Walaupun fungsi continuous support ini ternyata beririsan, tapi ada hal yang berbeda. Sebagaimana profesi profesi lain yang memiliki irisan peran, nature kerja Bidan dan Doula juga berbeda. Bahkan, apabila seorang lulusan kebidanan hendak menjadi peran Doula dalam sebuah persalinan, maka dia harus melepas ‘jubah’ bidannya, maksudnya adalah melepas mindset nya sebagai tenaga medis, dan tidak melakukan tindakan atau saran medis. Ada sebuah studi yang dimuat dalam Cochrane Systematic Review membahas tentang ini, yaitu perbedaan efektivitas continuous support ibu bersalin dengan 3 tipe pendamping, yaitu:
Bidan/perawat memiliki keterbatasan karena loyalitas yang cenderung terbagi, sebagai labour support, praktek medis rutin dan semacamnya. Adapun anggota keluarga (suami, saudara), walaupun perannya sangat penting, kemungkinan besar tidak memiliki pengalaman yang cukup dengan persalinan, dan juga mereka merupakan satu paket dengan ibu, yang memiliki kebutuhan juga untuk dipenuhi. Sedangkan seorang Doula, memiliki pelatihan dan pengalaman terkait persalinan, namun tidak punya konflik kepentingan dan tanggung jawab lain, selain terhadap ibu. Kalau urusannya untuk mendampingi secara kontinyu, Cochrane Review ternyata memaparkan bahwa suami, saudara, Doula, lebih efektif menjalani peran ini daripada staf professional dari fasilitas medis. – Ingin berbagi, intermezzo, sedikit pengalaman teaming dengan tim Bidan dalam pendampingan homebirth Tersebutlah sang Ibu sudah melaporkan kontraksi rutin, dan lokasi rumahnya cukup jauh dari kami, Bidan dan Doula. Bidan, menelepon dengan nada cemas: “Mbak Rika, posisimu di mana… duh aku baru berangkat ini” Saya: “Hmm baru berangkat juga nih. Jalanan padat banget. Ini diarahkan google map lewat tol. Tapi kata si ayahnya bayi, jangan lewat tol. Padahal jalur non tol jauh dan macet juga. Semoga on time ya. Bidan: “Duh…. ndredheg aku mbaaa, semoga gak kebrojolan lagiii. Gimana perasaanmu mba? Kamu khawatir ga” Saya: “Perasaanku ?? Hmmm… biasa biasa ajaa. Santai” Bidan: “Alhamdulillah mbaa… makasih semangat positifnya. Aku jadi ikut tenang” Batin saya,... saya ga ada maksud juga untuk menyemangati siapa siapa, wakakak. Tapi karena saya ke sana sebagai Doula, saya ngga punya beban mental sebesar tenaga medis, saya cuma kudu siap mental mengeluarkan tenaga dan waktu mendampingi lebih banyak dari bidan. Ternyata, perasaan ‘biasa biasa saja’ ini menjadi booster semangat bagi seseorang yang sering menghadapi masalah masalah medis dalam kehamilan dan persalinan. Mengenai risiko pendarahan, dll, aku ora mudeng 😀 The perks of being a doula with no medical background, energi saya lebih terjaga untuk endurance mendampingi ibu, tanpa berpikir gimana kalau terjadi ini dan itu. Selama kami mendampingi ibu ini, tim bidan memang benar benar menghimpun tenaga, beristirahat sebisa mungkin, dan masuk ke kamar ibu hanya jika dipanggil dan diperlukan. Kenyataannya, momen momen bukaan 9-10 hingga proses pemulihan, rentang waktu di mana tenaga medis wajib hadir, walaupun relatif lebih singkat dari durasi kerja doula, tapi menyedot energi yang cukup besar. Bayangkan kalau tim ini melakukan continuous support sekaligus menjalani peran medis sekaligus, seperti apa burnout nya. Apalagi tim medis di klinik atau RS yang mungkin mendampingi persalinan lebih dari 1 ibu dalam waktu yang bersamaan. Jadi, bisa terbayang tidak maksud dari nature Doula dan BIdan itu berbeda, walaupun keduanya mungkin sama sama belajar teknik napas, active birth, hypnobirthing, optimalisasi posisi janin, dukungan menyusui, dll. – Satu hal lagi, peran Doula lebih mirip dengan seorang Coach. Coach mendamping perjalanan klien nya dalam jangka panjang. Coach bukanlah asisten yang bisa disuruh suruh nambal kekurangan persiapan untuk hari H. Makanya saya rada rada kurang semangat kalau diminta jadi Doula di usia kandungan 39minggu :D, kecuali ada kondisi darurat khusus. Hubungan Doula dan klien ibu hamil, bisa jadi lebih intens dalam kualitas dan kuantitas waktu. Doula turun membantu mengidentifikasi profil ibu, menunjukkan kekosongan yang perlu diisi, memberikan informasi yang diperlukan sehingga ayah ibu dapat membuat keputusan yang berlandaskan informasi yang cukup. Saya sebagai Doula, membatasi diri menerima klien 1 saja dalam 2 bulan. Well, bisa dipertimbangkan 1 klien 1 bulan deh kalau kepepet. Beberapa Doula yang cukup aktif juga membatasi diri. Ada yang menyarankan, 4 klien per bulan saja sudah warning. Mengapa? Karena memang sebegitunya Doula sebaiknya intens membersamai dan mengalokasikan perhatian pada ibu hamil, dan karena potensi panjangnya waktu untuk menemani pada saat bersalin, yang bisa cukup menguras energi. Jadi, mempekerjakan Doula itu perlu ngga? Yang pasti, karena sudah dibahas oleh penelitian, pendampingan menerus adalah hal yang penting untuk diwujudkan bagi ibu bersalin. Siapapun dan apapun label orang yang melakukan itu. Seseorang yang tidak mempekerjakan Doula profesional juga punya hak untuk mendapatkan pengalaman persalinan yang baik. Bahkan yang memutuskan lahiran sendirian di hutan tanpa tenaga medis pun punya hak yang sama, bukan berarti pasti cacat pengalaman persalinannya. Selanjutnya, biarlah jawaban perlu atau tidaknya, terjawab oleh masing masing orang tua. Tugas kita semua, semua lini profesi Childbirth Professionals, adalah untuk menyediakan informasi yang cukup. Kalau kita ingin orang tua memberdayakan diri, we don’t dictate them what to do. We don’t label something as right or wrong lalu mendoktrin orang tua untuk memiliki opini yang sama, kecuali hal hal yang dibahas dalam dalil Quran dan Hadis. It’s their birth. Let them own it. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/334151/WHO-SRH-20.13-eng.pdf https://www.cochrane.org/CD003766/PREG_continuous-support-women-during-childbirth
0 Comments
Alhamdulillah, aku menjalani 2 kali persalinan yang ‘cukup’ alamiah. Persalinan pertamaku di rumah sakit, yang kedua di rumah. Dari pengalaman ini, ada beberapa hal tidak nyaman, hingga traumatis yang sebenarnya aku tidak perlu alami di persalinan pertama, tapi aku alami karena ketidaktahuan. Pengalaman ini tentu saja tidak untuk disesali, tapi penting untuk diketahui bagi yang belum mengalami, sehingga dapat diambil pelajaran.
Berikut ini bocorannya yah.. Ada satu titik terutama di bukaan besar, perasaan ga sanggup lagi, putus asa, minta pereda nyeri, minta sesar. Percaya atau tidak, bahkan ibu yang hidupnya serba natural, bercita cita bersalin sealamiah mungkin, dan ujung ujungnya berhasil alami, juga bisa merasakannya. Aku juga mengalaminya kok di kedua persalinan. Walaupun ada di antara kamu yang naturalis, rajin belajar, ikhtiar kenceng, jago relaksasi, jangan kaget kalau niscaya kamu mengalaminya juga :D Itu adalah sebuah tanda masuk fase akhir. Jadi, para suami musti paham yah! Yang menarik, menurut pengamatan, cerita cerita orang (dan aku mengalaminya juga), fase akhir ini akan lekas terlewati ketika ibu bisa ‘melepas’, berserah, tidak lagi mempertahankan keinginan keinginannya, mengakui ketidakberdayaan. Begini contoh self talk aku (seingatku ya..karena sudah lama sekali hehe) Rasaya luar biasa nyeri Lelah… Ternyata dengan segala ilmu dan rajin olahraga, aku ngga bisa menyelesaikan ini Aku ternyata ngga sanggup. Tolong aku ya Allah… “Saya musti ngapain lagi Mbak Rika? Besok sudah HPL. Teman teman yang hamil seangkatan dengan saya sudah lahiran, saya kok belum? Rasanya cemas dan waswas padahal semua cara sudah ditempuh. Jalan tiap hari sudah, main gymball, yoga, hubungan dengan suami juga kadang lebih dari 1x sehari” Teringat kondisi saya, sebelum melahirkan, sama khawatirnya. Rekan sesama Childbirth Educator yang bahkan lebih senior dari saya dalam hal belajar kehamilan, maupun hamil (karena melahirkannya sudah lebih dari 5x) pun mengatakan kalau dia tetap merasa cemas di akhir kehamilan. Jadi, ternyata kita semua sama. Akhir kehamilan adalah masa peralihan. Ada perasaan lelah sudah ‘menggendong’ bayi ini cukup lama. Namun ada pula rasa khawatir menjadi ibu baru, menghadapi tanggung jawab baru. Energi berjuang dan berserah memang sudah seharusnya selalu ada dalam hidup, dan selalu seimbang. Realitanya, episode hidup membuat pergeseran antara perjuangan dan keberserahan. Kitalah yang perlu tarik ulur untuk menyeimbangkan lagi. Berjuang tanpa keberserahan, berpotensi menimbulkan banyak pertanyaan yang tak akan pernah terjawab, mengapa begini, mengapa begitu. Jika hasil tak sesuai upaya, maka bisa saja menyalahkan diri sendiri, selalu mempertanyakan, ‘apa yang salah’, ‘apa yang kurang’, atau menyalahkan orang lain yang tidak mendukung. Jalan kaki setiap hari tentu saja baik. Tapi kalau jalan kaki berjam jam dengan energi panik dan cemas bertanya tanya ‘harus nambah jalan berapa lama lagi agar bisa cepat lahir’ tentu justru akan merugikan proses yang sedang berjalan. “Lalu gimana dong… di kelasnya @ceritalahir kan dapat bekal kudu jalan pagi, main gymball, ikut kelas persiapan, bikin birth plan, yang checklist nya banyak banget dan beberapa terbukti saintifik melancarkan persalinan. Tapi, ternyata justru kudu nambah porsi berserah. Gimana cara setting hatinya?” Tentu setiap pribadi berbeda. Namun yang saya amati, tantangan di akhir kehamilan bagi manusia manusia yang rajin belajar bekerja tak kenal lelah ini, adalah untuk menambah porsi keberserahan, porsi mempercayai proses yang sedang terjadi, porsi meyakini bahwa Allah sudah mengatur yang terbaik. Bahkan, mungkin saja perlu mengurangi porsi upaya yang tanpa sadar sebenarnya sudah berlebihan. Untuk tipe orang tertentu, mungkin segala daily tracker dan birth plan itu perlu disimpan saja.
Beberapa lama setelah mengunggah audio relaksasi kehamilan yang responnya masyaaAllah luar biasa, ada cukup banyak yang request untuk dibuatkan audio untuk promil. Sebelum menyusun script, saya melakukan riset kecil kecilan mengenai kondisi dan kebutuhan orang tua yang menanti momongan, lebih khususnya aspek emosi/mental.
Saya mempercayai bahwa tubuh adalah salah satu elemen tak terpisahkan dengan pikiran. Kesehatan adalah hal yang holistik. Tentu kita perlu mempercayakan urusan fisik pada ahlinya. Jadi kalau Anda merasa memiliki gangguan yang sifatnya fisik yang mempengaruhi fertilitas (baik itu perempuan maupun laki laki), maka konsultasi ke dokter adalah jalan ikhtiar yang menurut saya cukup dapat dipercaya. Sementara itu, Anda perlu pula menggali aspek mental spiritual. Menurut berbagai kamus, fertility (kesuburan) memiliki definisi : kemampuan untuk memulai, memelihara, dan mendukung proses reproduksi. Dari definisi ini saja, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa subur (fertil) adalah jaminan bisa memiliki keturunan lho. Saya percaya bahwa secara fitrah, perempuan memang diciptakan untuk sehat, bisa hamil dan melahirkan, namun bisa saja banyak faktor yang bisa menganggu kesehatan holistik tersebut. Maka, keseimbangan sehat fisik dan mental adalah aspek yang penting dalam reproduksi. Walaupun mendiagnosis kondisi kesehatan hingga terapi secara medis yang terukur bisa diusahakan, namun kenyataannya masih banyak pula aspek yang belum diketahui secara terukur yang menjadi penyebab infertilitas. Nyatanya, program program kehamilan yang harganya pun tidak murah, angka keberhasilannya pun tidak lebih dari 50%, sementara banyak pula cerita pasangan pasangan yang menikah sudah begitu lama, justru akhirnya hamil saat sedang tidak melakukan program. Masalah yang sebenarnya muncul adalah ketika orang tua menjadikan ‘punya anak’ sebagai tujuan. Padahal, memiliki anak atau tidak adalah hal yang kita manusia tidak bisa kontrol. Saya setuju dengan ungkapan Sjanie Hugo (yang menulis “The Fertile Baby Method”) “memiliki anak” bukanlah goal atau tujuan yang sehat, karena tidak dapat terukur upaya untuk mencapainya. Yang lebih bisa terukur untuk dicapai adalah mengusahakan memperbaiki kesehatan fisik dan psikis. Ketika tubuh dan pikiran sehat, maka sangat logis fungsi fisiologis tubuh termasuk reproduksi juga akan menjadi normal. Kalau “punya anak” jangan dijadikan goal, lalu apa dong? Sjanie Hugo mengatakan bahwa menjadikan “punya anak” sebagai tujuan utama justru bisa kontraproduktif, menyebabkan stress, kecemasan, kekecewaan dan potensi gagal. Penting untuk memisahkan tujuan dan intensi. Tapi, kalau dijadikan intensi, boleh boleh saja. Apa bedanya? Intensi adalah harapan atau doa yang penuh keyakinan. Kita bebas mau berdoa apa saja. Kita bebas misalnya memohon sepenuh hati agar Allah mengaruniai mobil Tesla, walaupun gaji saat ini tidak memungkinkan. Tapi kita semua paham bahwa doa bukanlah sesuatu yang dalam kendali kita untuk mewujudkannya. Doa bukan berarti ‘ngatur ngatur Allah’. Maka, “bisa hamil dan memiliki anak soleh untuk menjadi khalifah yang amanah” boleh kita jadikan intensi. Namun goal (tujuan) adalah sesuatu yang lain. Goal adalah sesuatu yang bisa terukur cara cara untuk mencapainya, yang secara hukum sebab akibat kita bisa ukur keberhasilannya. Nah, yang realistis dan bisa diukur adalah upaya upaya untuk memperbaiki kondisi fisik dan psikis. Dalam konteks ibadah, kita bisa menjadikan upaya menuju goal ini menjadi ‘bahan proposal/doa’ pada Allah. Kita bisa bilang, “Ya Allah, hamba sudah menggenapi tugas hamba untuk menjaga tubuh ini, menjaga pikiran ini, memantaskan diri dan meluruskan niat. Nah, penting bagi Ibu untuk memahami ini sebelum mendengar audio relaksasi untuk promil. Audio ini mudah mudahan bisa menjadi penguat intensi Anda untuk menjadi orang tua. Oh iya, audio ini bukan merupakan terapi hipnosis ya, melainkan relaksasi singkat saja. Silakan jadikan pelengkap bersamaan dengan konsultasi ke dokter dan juga terapi emosi.psikologis dengan ahlinya. Bismillaah, semangat lillahi ta’ala yaa! Selamat mendengarkan. Ketika saya sedang mencari cara baru untuk mengatur diri sendiri dan segala kekacauan otak melalui bullet journal, saya langsung terpikir bahwa cara ini juga akan bermanfaat banget untuk kehamilan. Yang menarik dari bullet journal adalah, kreasi tanpa batas, dan peruntukan tanpa batas. Jurnal bisa berisi catatan perkembangan janin dari minggu ke minggu, atau bulan ke bulan, hingga pencatatan kebiasaan yang ingin dicapai dalam kehamilan. Jadi, tidak akan terjadi lagi Ibu terlewat ikut kelas atau memantau ilmu di live IG yang begitu bertebaran di era ini. Tidak terlewat lagi jadwal untuk lari, yoga, mempelajari topik tertentu sebagai suplai ide membuat birth plan, dan lain sebagainya. Pemberdayaan diri Ibu pun bisa terlaksana dengan lebih optimal. Menjurnal juga bisa jadi sarana self healing lho. Bumil coba deh tuangkan perasaan, termasuk galau sedih dan marah yang sedang hadir. Akui perasaan yang hadir melalui tulisan sangat membantu melepaskan rasa tidak nyaman tersebut sehingga tidak ‘mampet’ di dalam pikiran Ibu. It’s okay to feel uncomfortable lho! Tuangkan juga apa hal yang membuat bahagia pada hari ini, sehingga kita juga bisa selalu memiliki hal untuk disyukuri. Kalau kita bukan orang yang artsy, ngga perlu terlalu terintimidasi sama penampakan cantik cantik dari contoh bullet journal di internet ya! Awalnya saya juga sempat terlalu pusing membuat cantik jurnal saya. Tapi akhirnya ‘berdamai’ dengan diri sendiri yang tidak terlalu hobi eksplorasi dengan keindahan, yang akhirnya layoutnya dan warnanya begitu begitu saja setiap bulan and I am happy with that. Inspirasi Bullet JournalMasa postpartum adalah periode transisi di mana Ibu harus merawat diri dan/atau mendapatkan dukungan perawatan, agar pemulihan dapat berlangsung dengan baik dan tubuh Ibu dapat kembali pada waktu yang wajar. Waktu yang wajar untuk pemulihan adalah sebagaimana gambar di atas: Proses penyembuhan dan pemulihan organ genital 6 minggu - 2 bulan; Luka pada operasi SC: sekitar 10 minggu (3 bulan); Hormon relaksin kembali ke kadar normal 5 bulan; Otot perut, normalnya paling cepat 6 minggu; dan hormon oksitosin: setelah selesai menyusui. Itulah sebabnya, Ibu pasca bersalin perlu perlakuan khusus dan tetap menjaga dirinya secara fisik maupun mental, misalnya dengan tetap manjaga asupan nutrisi yang memadai, dan aktivitas fisik yang tidak begitu saja dianggap bisa melakukan hal hal yang normal. Karena fisik dan mental Ibu bisa jadi masih dalam transisi, maka masa ini masih disebut sebagai ‘sekuel’ kehamilan, yaitu trimester keempat. Nah, siapa nih yang udah ngga sabaran banget pengen kembali seperti dahulu kala, rajin zumba, bikram, lari, muay thai, dan sebagainya? Ibu postnatal memang perlu banget untuk tetap berolahraga, tapi jangan lupa bahwa tubuh Ibu masih butuh pemulihan bahkan hingga selesai masa menyusui. Buru buru ingin olahraga berat bisa menimbulkan mudharat di kemudian hari. Jadi, lakukan olahraga dimulai dari yang ringan seperti latihan kegel dan otot perut dengan cara yang aman. Pastikan instruktur olaharga Ibu paham mengenai transisi ini ya. Cara menikmati hidup adalah dengan optimis memikirkan hidup yang baik, sehat, dan bahagia. Tentu di muka bumi ini ada orang orang yang sakit dan menderita, tapi kita tidak berharap menginternalisasikan kesakitan itu dalam diri kita bukan? . Bayangkan betapa hidup begitu tertekan apabila kita berpikir bila jalan jalan di luar rumah akan tertabrak mobil, terkena peluru nyasar, atau bermain flying fox namun berpikir akan terjatuh. Percaya dan yakinlah bahwa kehamilan dan persalinan adalah seperti hidup, kebanyakan berisi hal yang membahagiakan dan penuh harapan baik. Kebanyakan akan baik baik saja. Kebanyakan bisa berjalan sesuai fitrahnya. Tugas kita adalah melengkapi diri dengan ilmu yang mencukupi agar tetap sehat. Terima dan akui segala kecemasan yang hadir akibat cerita saudara, cerita tetangga, dan pengalaman yang dibaca di sosmed. Izinkan perasaan itu hadir dan izinkan perasaan itu pergi, terganti dengan prasangka baik pada Allah. Ibu hamil perlu fleksibel lho! Tentu bukan berarti ada patokan tertentu yang harus diraih, tidak harus bertarget bisa selentur atlet gymnastic kok. Latihanlah untuk menjadi lebih fleksibel dari sebelumnya dengan diri sendiri menjadi benchmark. ㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Ibu yang memiliki fleksibilitas yang cukup baik, memiliki 'range of motion' yang luas. Artinya, pada saat persalinan ibu tersebut punya banyak sekali pilihan posisi yang bisa dicoba. ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Kalau memperhatikan persalinan Ibu yang tidak didikte posisinya, secara insting ibu akan mencoba berbagai macam gerakan sebagai upaya pengelolaan nyeri. Nah, dengan banyaknya opsi gerakan dalam referensinya, semakin banyak yang bisa ia coba, semakin besar probabilitas seorang ibu bisa menemukan posisi, gerakan, baik statis maupun dinamis, untuk mengelola rasa kontraksinya. ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Pun untuk posisi 'konvensional' di rumah sakit (telentang), fleksibilitas panggul juga sangat diperlukan, karena nakes pasti akan meminta ibu untuk membuka area panggul lebih lebar lagi. Semakin lebar ibu bisa membuka, semakin mudah pula bagi nakes untuk menangani persalinannya. Kemudahan ibu untuk membuka area panggul juga akan berhubungan dengan output energinya. Ibu yang kaku akan lebih butuh energi besar unyuk mencapai posisi persalinan yang diharapkan, sehingga lebih cepat lelah dan kehabisan energi. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sebelum memulai, mohon perhatikan bahwa hormon relaksin pada ibu hamil meningkat, membuat persendian lebih lemas namun akan lebih rawan cidera. Maka jangan paksakan diri untuk mencapai pose maksimal ya, Ibu. Explore and do once step at a time. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ So, let's get stretched, Moms! ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ #prenatalyoga #yogaprenatal #senamhamil#persiapanpersalinan #maternityyoga#prenatalclass #igyogaindonesia#igyogacommunity #yogaindonesia#yogaforgentlebirth #gentlebirthyoga - ditulis oleh Rika Widjono untuk Cerita Lahir Ibu, mari sadari bahwa nyeri dan stress pada level tertentu adalah wajar, normal, dan bahkan diperlukan untuk menjadikan proses alami berjalan tetap pada jalurnya. . Tingkat stress wajar yang diakibatkan oleh nyerilah yang menuntunmu, bahkan memaksamu untuk menarik nafas lebih panjang, melindungi bayimu dari kekurangan oksigen. . Apabila pikiran bawah sadarmu tidak didominasi oleh pencitraan bahwa ‘bersalin adalah telentang’ maka nyeri ini lah yang niscaya menuntunmu untuk bolak balik mengubah posisi dengan maksud mencari mana posisi yang lebih nyaman. Umumnya, posisi posisi pilihanmu untuk menyamankan diri inilah yang juga membantu kemajuan persalinan atau menggeser bayi ke posisi yang tepat sebelum dilahirkan. . Nyeri jugalah yang berperan dalam memanggil oksitosin kembali, agar gelombang rahim kembali hadir untuk membantu bayimu keluar. . Dan, nyerilah yang menjadi jalan penggugur dosa, sebagaimana pohon menggugurkan daun daunnya (sebagaimana tercantum dalam Al Hadist). . Maka sambutlah fitrah rasa ini dengan rileks diiringi ucapan.. Alhamdulillah. . . #painmanagement #manajemennyeri#labourpain #pengelolaannyeri#mindfulbirth |
AuthorRika Widjono ARSIP
December 2022
KATEGORI |