Beberapa kali mendapati opini bahwa tidak perlu ada Doula dalam persalinan, yang datangnya dari profesi sesama Childbirth Professional. Bahkan, ada pihak yang menyayangkan ketika ada bidan yang mengambil pelatihan Doula segala, karena menganggap sebetulnya lingkup Doula ada di dalam job description bidan.
Well, saya menemui opini opini semacam ini di berbagai bidang yang pernah saya pelajari. Bukan hal baru. Mulai dari jurusan kuliah saya (Teknik Lingkungan) yang dianggap sebenarnya sudah ada di jurusan lain, sedikit Teknik Sipil, sedikit Teknik Kimia, sedikit Biologi. Saat ini juga saya terjun belajar menjadi pelatih kebugaran, sebagai supporting knowledge saya sebagai Doula, yang mana bahasannya sangat beririsan dengan fisioterapi dan kedokteran olahraga. Doula juga biasanya belajar hypnobirthing, bagian dari hipnoterapi, yang beririsan dengan psikologi. Kalau mau dilanjutkan, daftarnya akan panjang sekali. Tapi dari aneka profesi yang beririsan ini, saya rasa tidak perlu ada yang menganggap mengambil lahan orang lain atau semacamnya, atau mengecilkan yang lain, misalnya profesi yang tidak tinggi levelnya karena tidak ditempuh melalui strata yang sama. Sungguh. Itu tidak perlu. Profesi Doula memang tergolong baru. Karena baru, maka tanpa perannya, persalinan toh tetap terjadi dan dianggap baik baik saja. Namun, sebaiknya perlu direnungkan juga bahwa munculnya profesi ini pun sebenarnya karena ternyata ada gap kebutuhan ibu dalam persalinan yang tidak terpenuhi oleh anggota keluarga maupun tenaga medis. Secara umum, demikian realitanya. Titik berat profesi Doula adalah memenuhi fungsi continuous support terhadap ibu bersalin, sebuah peran yang dianggap penting dan terbukti memiliki manfaat terhadap berbagai parameter keluaran persalinan. Yang saya dengar dari rekan bidan, sebenarnya fungsi ini memang benar juga seharusnya dijalani juga oleh bidan, istilahnya continuity of care . Bidan juga seharusnya senantiasa menemani, ibu, menenangkan, memberikan dukungan, dll. Walaupun fungsi continuous support ini ternyata beririsan, tapi ada hal yang berbeda. Sebagaimana profesi profesi lain yang memiliki irisan peran, nature kerja Bidan dan Doula juga berbeda. Bahkan, apabila seorang lulusan kebidanan hendak menjadi peran Doula dalam sebuah persalinan, maka dia harus melepas ‘jubah’ bidannya, maksudnya adalah melepas mindset nya sebagai tenaga medis, dan tidak melakukan tindakan atau saran medis. Ada sebuah studi yang dimuat dalam Cochrane Systematic Review membahas tentang ini, yaitu perbedaan efektivitas continuous support ibu bersalin dengan 3 tipe pendamping, yaitu:
Bidan/perawat memiliki keterbatasan karena loyalitas yang cenderung terbagi, sebagai labour support, praktek medis rutin dan semacamnya. Adapun anggota keluarga (suami, saudara), walaupun perannya sangat penting, kemungkinan besar tidak memiliki pengalaman yang cukup dengan persalinan, dan juga mereka merupakan satu paket dengan ibu, yang memiliki kebutuhan juga untuk dipenuhi. Sedangkan seorang Doula, memiliki pelatihan dan pengalaman terkait persalinan, namun tidak punya konflik kepentingan dan tanggung jawab lain, selain terhadap ibu. Kalau urusannya untuk mendampingi secara kontinyu, Cochrane Review ternyata memaparkan bahwa suami, saudara, Doula, lebih efektif menjalani peran ini daripada staf professional dari fasilitas medis. – Ingin berbagi, intermezzo, sedikit pengalaman teaming dengan tim Bidan dalam pendampingan homebirth Tersebutlah sang Ibu sudah melaporkan kontraksi rutin, dan lokasi rumahnya cukup jauh dari kami, Bidan dan Doula. Bidan, menelepon dengan nada cemas: “Mbak Rika, posisimu di mana… duh aku baru berangkat ini” Saya: “Hmm baru berangkat juga nih. Jalanan padat banget. Ini diarahkan google map lewat tol. Tapi kata si ayahnya bayi, jangan lewat tol. Padahal jalur non tol jauh dan macet juga. Semoga on time ya. Bidan: “Duh…. ndredheg aku mbaaa, semoga gak kebrojolan lagiii. Gimana perasaanmu mba? Kamu khawatir ga” Saya: “Perasaanku ?? Hmmm… biasa biasa ajaa. Santai” Bidan: “Alhamdulillah mbaa… makasih semangat positifnya. Aku jadi ikut tenang” Batin saya,... saya ga ada maksud juga untuk menyemangati siapa siapa, wakakak. Tapi karena saya ke sana sebagai Doula, saya ngga punya beban mental sebesar tenaga medis, saya cuma kudu siap mental mengeluarkan tenaga dan waktu mendampingi lebih banyak dari bidan. Ternyata, perasaan ‘biasa biasa saja’ ini menjadi booster semangat bagi seseorang yang sering menghadapi masalah masalah medis dalam kehamilan dan persalinan. Mengenai risiko pendarahan, dll, aku ora mudeng 😀 The perks of being a doula with no medical background, energi saya lebih terjaga untuk endurance mendampingi ibu, tanpa berpikir gimana kalau terjadi ini dan itu. Selama kami mendampingi ibu ini, tim bidan memang benar benar menghimpun tenaga, beristirahat sebisa mungkin, dan masuk ke kamar ibu hanya jika dipanggil dan diperlukan. Kenyataannya, momen momen bukaan 9-10 hingga proses pemulihan, rentang waktu di mana tenaga medis wajib hadir, walaupun relatif lebih singkat dari durasi kerja doula, tapi menyedot energi yang cukup besar. Bayangkan kalau tim ini melakukan continuous support sekaligus menjalani peran medis sekaligus, seperti apa burnout nya. Apalagi tim medis di klinik atau RS yang mungkin mendampingi persalinan lebih dari 1 ibu dalam waktu yang bersamaan. Jadi, bisa terbayang tidak maksud dari nature Doula dan BIdan itu berbeda, walaupun keduanya mungkin sama sama belajar teknik napas, active birth, hypnobirthing, optimalisasi posisi janin, dukungan menyusui, dll. – Satu hal lagi, peran Doula lebih mirip dengan seorang Coach. Coach mendamping perjalanan klien nya dalam jangka panjang. Coach bukanlah asisten yang bisa disuruh suruh nambal kekurangan persiapan untuk hari H. Makanya saya rada rada kurang semangat kalau diminta jadi Doula di usia kandungan 39minggu :D, kecuali ada kondisi darurat khusus. Hubungan Doula dan klien ibu hamil, bisa jadi lebih intens dalam kualitas dan kuantitas waktu. Doula turun membantu mengidentifikasi profil ibu, menunjukkan kekosongan yang perlu diisi, memberikan informasi yang diperlukan sehingga ayah ibu dapat membuat keputusan yang berlandaskan informasi yang cukup. Saya sebagai Doula, membatasi diri menerima klien 1 saja dalam 2 bulan. Well, bisa dipertimbangkan 1 klien 1 bulan deh kalau kepepet. Beberapa Doula yang cukup aktif juga membatasi diri. Ada yang menyarankan, 4 klien per bulan saja sudah warning. Mengapa? Karena memang sebegitunya Doula sebaiknya intens membersamai dan mengalokasikan perhatian pada ibu hamil, dan karena potensi panjangnya waktu untuk menemani pada saat bersalin, yang bisa cukup menguras energi. Jadi, mempekerjakan Doula itu perlu ngga? Yang pasti, karena sudah dibahas oleh penelitian, pendampingan menerus adalah hal yang penting untuk diwujudkan bagi ibu bersalin. Siapapun dan apapun label orang yang melakukan itu. Seseorang yang tidak mempekerjakan Doula profesional juga punya hak untuk mendapatkan pengalaman persalinan yang baik. Bahkan yang memutuskan lahiran sendirian di hutan tanpa tenaga medis pun punya hak yang sama, bukan berarti pasti cacat pengalaman persalinannya. Selanjutnya, biarlah jawaban perlu atau tidaknya, terjawab oleh masing masing orang tua. Tugas kita semua, semua lini profesi Childbirth Professionals, adalah untuk menyediakan informasi yang cukup. Kalau kita ingin orang tua memberdayakan diri, we don’t dictate them what to do. We don’t label something as right or wrong lalu mendoktrin orang tua untuk memiliki opini yang sama, kecuali hal hal yang dibahas dalam dalil Quran dan Hadis. It’s their birth. Let them own it. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/334151/WHO-SRH-20.13-eng.pdf https://www.cochrane.org/CD003766/PREG_continuous-support-women-during-childbirth
0 Comments
Alhamdulillah, aku menjalani 2 kali persalinan yang ‘cukup’ alamiah. Persalinan pertamaku di rumah sakit, yang kedua di rumah. Dari pengalaman ini, ada beberapa hal tidak nyaman, hingga traumatis yang sebenarnya aku tidak perlu alami di persalinan pertama, tapi aku alami karena ketidaktahuan. Pengalaman ini tentu saja tidak untuk disesali, tapi penting untuk diketahui bagi yang belum mengalami, sehingga dapat diambil pelajaran.
Berikut ini bocorannya yah.. Ada satu titik terutama di bukaan besar, perasaan ga sanggup lagi, putus asa, minta pereda nyeri, minta sesar. Percaya atau tidak, bahkan ibu yang hidupnya serba natural, bercita cita bersalin sealamiah mungkin, dan ujung ujungnya berhasil alami, juga bisa merasakannya. Aku juga mengalaminya kok di kedua persalinan. Walaupun ada di antara kamu yang naturalis, rajin belajar, ikhtiar kenceng, jago relaksasi, jangan kaget kalau niscaya kamu mengalaminya juga :D Itu adalah sebuah tanda masuk fase akhir. Jadi, para suami musti paham yah! Yang menarik, menurut pengamatan, cerita cerita orang (dan aku mengalaminya juga), fase akhir ini akan lekas terlewati ketika ibu bisa ‘melepas’, berserah, tidak lagi mempertahankan keinginan keinginannya, mengakui ketidakberdayaan. Begini contoh self talk aku (seingatku ya..karena sudah lama sekali hehe) Rasaya luar biasa nyeri Lelah… Ternyata dengan segala ilmu dan rajin olahraga, aku ngga bisa menyelesaikan ini Aku ternyata ngga sanggup. Tolong aku ya Allah… |
AuthorRika Widjono ARSIP
December 2022
KATEGORI |