TaKemarin saya mengikuti online workshop mengenai Seni Bernarasi, dibawakan oleh Mbak Ayu Primadini. Saya tertarik belajar dari mbak Ayu awalnya dari menyimak “Rabu Galau” setiap kali ketemu sama bunda bunda Klub OASE. Di situ saya mengenal mengenai salah satu rutinitas dalam metoda Charlotte Mason (CM), yaitu Narasi melalui dongengannya Mbak Ayu, salah satu pentolan praktisi CM. Singkatnya, narasi adalah menceritakan kembali isi tulisan sebuah buku, atau bentuk presentasi yang lain. Itu yang saya tangkap dari obrolan singkat bersahut sahutan sambil menunggu anak anak kami beraktivitas. Wah, ternyata saya sudah melakukannya selama ini. Jadi, seiring dengan pertambahan umur anak anak, selain menambah privilige semakin mendekati privilege orang dewasa, saya juga menambah tanggung jawab dan tugas wajib hariannya. Kalau istilah salah satu guru saya, Kiki Barkiah, namanya ‘standar pagi’ atau ‘standar sore’. Salah satu standar sore adalah membaca buku siroh dan menceritakannya kembali. Raul sudah menjalankan rutinitas ini sekitar sejak umur 8 atau 9 tahun saya lupa. Secara santai saya mulai meminta Rara (menjelang 8 tahun) melakukan hal yang sama, ternyata dia menyambut dengan baik tanpa penolakan, karena dia sudah melihat kebiasaan kakaknya dan mungkin di bawah sadar sudah menerima bahwa ini hal yang harus dilakukan suatu saat nanti. Flashback saat awal mula saya meminta Raul ber’narasi’ (saya pakai tanda kutip karena masih merupakan narasi ala saya), kami sama sama mengawalinya dengan stress. Saya stress karena punya ekspektasi standar tertentu mengenai kualitas bernarasi. Raul stress karena saya bilang seharusnya begini dan begitu, tapi dia belum bisa memenuhinya. Jadi, kami sering ‘berantem’ karena dia salah terus dan saya mengkoreksi terus. Memang sih, saya sadari mensarikan sebuah tulisan beberapa paragraf dalam kata kata sendiri bukan pekerjaan mudah. Tapi bukankah ini intinya belajar? Belajar adalah mengalami masa masa tidak enak belum mengetahui atau menguasai sesuatu. Jadi kalau saya koreksi, dia harus terima dengan lapang dada, itu doktrin yang saya selalu tanamkan, hehe. Sampai sekarang saya tetap menganggap demikian untuk beberapa hal. Namun jika direfleksikan kembali, ‘berantem’ ini menjadi kontraprodutif dengan salah satu pendekatan pengasuhan yang saya yakini yaitu rapport building alias membangun kedekatan. Masa iya saya musti mengorbankan rapport building untuk urusan belajar literasi? Memang benar belajar akan melibatkan rasa tidak nyaman di awal. Namun alangkah baiknya kalau dorongan untuk ‘mendobrak diri’ melawan ketidanyamanan itu datang dari dirinya sendiri bukan? Dan untuk menumbuhkan itu semua, saya sadar pendekatan mendikte, memberi tahu salah dan benar, tidak selalu tepat, bahkan seringnya tidak tepat. Tapi di sisi lain saya juga belum menemukan cara yang lebih baik, sehingga masih menjalankan business as usual. Lagipula, saya sudah melihat hasil nya pada Raul. Dia yang awalnya kesulitan mengingat apa yang dia baca, sekarang sudah piawai, bisa membaca cepat dan menarasikannya kembali. Jadi, sebelum mengikuti Workshop mbak Ayu tentang Seni Bernarasi, saya sedang menjalani stress stress ria bersama Rara, karena kami sedang di tahap awal menjalani rutinitas “narasi”, dan saya sedang gemas gemasnya sama Rara yang cenderung bercerita kronologis yang panjang dan membosankan untuk disimak, dengan alur yang super lambat, alih alih menceritakan esensi atau inti cerita. Setelah menyimak pemaparan mbak Ayu di Workshop Seni Bernarasi, ternyata saya melakukannya dengan cara yang salah jika dipandang melalui panduan narasi ala CM. Panduan ala CM benar benar gentle dan harus punya ‘iman’. Maksud iman di sini adalah benar benar percaya kapasitas anak sebagai pembelajar alami, sebagai human being yang Allah sudah install dengan perangkat lunak kemampuan belajar yang sempurna. Saya pikir, “This is it!!”, metoda lebih baik yang saya cari, tanpa menimbulkan mudharat yang saya khawatirkan. Insyaa Allah. Apa yang jelas harus saya perbaiki, adalah kesabaran. Proses bernarasi ini adalah perjalanan panjang, bahkan bisa jadi tidak ada panduan milestone alias pencapaian apa harus dicapai kapan. Sebagai emak emak didikan teknik, saya terbiasa melihat milestone, benchmark, threshold limit, dan semacamnya. Tanpanya saya cenderung ingin target segera tercapai karena khawatir berpanjang panjang melakukan hal yang tidak efektif. Menariknya, walaupun pencapaian tiap anak bisa beda beda, tapi pendekatan narasi CM sangat baku, jelas, dan yang paling penting adalah masuk akal saya untuk mencapai tujuan. Panduan secara rinci saya coba rangkum di tulisan terpisah ya. Di sini saya ingin menceritakan apa yang jadi sorotan buat saya pribadi. Habit Training Anak memiliki fitrah keteraturan dan mentaati aturan. Itu yang saya pelajari juga dari Enlightening Parenting dan Montessori. Salah satu esensi dari bernarasi adalah habit training, tepatnya habit of attention dan habit of thinking. Seiring dengan banyaknya urusan dan kemudahan teknologi di masa kini, kita sering terjebak pada multitasking dan multithinking yang berakibat juga pada perhatian dan fokus yang sering pecah. Itu saya alami juga. Mengalami banget! Mengalami ngobrol sama orang tapi hilang fokus karena tiba tiba kepikiran hal lain. Habit of attention dilakukan dengan cara membacakan buku hanya sekali. Nah! Ini dia salah satu sumber stress saya, haha. Seringkali saya berusaha mengulang ulang membaca buku untuk memastikan anak bisa menangkap isi cerita, sehingga yang terjadi adalah saya menyuapi anak agar infonya bisa masuk ke otaknya, ketimbang si anak sadar untuk harus fokus agar dia mengerti. Udah mah capek mengulang ulang, anaknya juga nggak ngerti ngerti :D. Nah, dengan mengetahui bahwa mengulang ulang tidaklah perlu, dan itu dilakukan justru untuk tujuan tertentu, saya bisa mengurangi sumber stress saya, dan anak mendapatkan ‘pelajaran’ habit of attention. Ketika anak paham bahwa orangtuanya tidak akan mengulang, dia akan punya kesadaran di lain waktu untuk fokus mendengar. Kembali pada proses yang butuh waktu, di mana tujuan ini mungkin tidak akan tercapai dalam 1-2 kali sesi. Ini semua butuh keyakinan, keyakinan bahwa langkah ini benar dan akan mencapai tujuan. Tapi dengan melihat kemampuan komunikasi mbak Ayu yang kece dan bagaimana anak anaknya, saya bisa cukup yakin, hehe. Habit of Thinking dilakukan dengan tidak menginterupsi anak saat bernarasi. Iya! Tidak boleh interupsi, dalam artian mengkoreksi atau mancing mancing kaya guru TK mengatakan “Awan berwarna puuu.....” (you know :D), bahkan jika anak hanya bernarasi dengan SATU kata sekalipun. Gemes ga sih? Haha. Tapi jika saya sadar ini memiliki tujuan, lagi lagi saya bisa mengurangi sumber stress saya. Saya akan tahu bahwa jika saya tidak interupsi, bukan berarti proses pembelajaran tidak terjadi. Justru proses pembelajaran yang esensial terjadi jika saya tidak banyak ‘nyap nyap’. Ya ampuun ini cucok banget sama karakter saya yang aslinya nggak suka ngomong :D Menurut CM, pendidikan adalah atmosfer. Ketika kita gemesss karena menganggap anak tidak bisa, kita menciptakan atmosfer kasihan, atmosfer superior yang merendahkan kapasitas anak (sebagai pembelajar alami). Saya juga sejak awal sudah punya modal mempercayai bahwa ‘atmosfer’ akan masuk ke bawah sadar, dan apa yang ada di bawah sadar akan menjadi penggerak fisik dan pikiran sehingga pada waktunya akan membentuk realita. Saya, merendahkan kapasitas anak?. Tidak pernah terpikirkan dalam realita alam sadar saya. Tapi nyatanya saya melakukannya :( Saya menyelesaikan menyimak workshop ini dengan kelegaan, mengetahui bahwa melatih dan mendampingi anak belajar menyarikan tulisan, menyampaikan ide, ternyata secara teknis tidak sulit dan tidak makan waktu lama dalam sehari. ‘Hanya’ butuh konsistensi dan tidak terburu buru ingin melihat hasil. Konsistensi memang merupakan isu sejuta emak, ya kan :D Saya biasanya masih sering gagal konsisten di hal yang makan waktu, seperti misalnya harus olahraga mandiri selama minimal 1 jam :D Tapi mengetahui fakta bahwa ini tidak perlu waktu lama, membuat saya lebih optimis dan semangat. Malam itu selepas WS, saya membuka lagi sebuah buku anak yang sebelumnya saya bacakan sebagai sebuah chore, alias pekerjaan, sehingga saya sendiri juga kurang paham isinya. Sebelumnya kami sama sama tidak menikmati buku itu. Akhirnya saya coba berjuang dikit untuk memahami cara bertutur penulis dan penokohannya, baru membacakan santai buat Rara tanpa target tinggi sebagaimana sebelumnya. Anak ini, menyimak dengan menikmati dan berbinar binar, dan tanpa sadar kami sudah membaca berlembar lembar, dan dihentikan oleh malam yang semakin larut dan juga kantuk. Bahkan kakaknya diam diam ikut menyimak dari jauh dan menikmati. Belum narasi sih, karena memang targetnya hanya buat bedtime stories. It feels good when you do it in the right way and the right atmosphere. Alhamdulillah.
0 Comments
Leave a Reply. |
PENULISRika Widjono ARSIP
July 2020
KATEGORI |