Sebuah artikel populer membahas tentang betapa sakitnya melahirkan. Artikel yang lain membahas tentang cara melahirkan tanpa rasa sakit. Gimana sih sebenarnya tentang rasa sakit ini? Yuk sedikit main analogi. Coba Anda tanya sekelompok anak usia sekitar 5 tahun, mengenai apa yang mereka rasakan saat disuntik. Barangkali ada sekelompok anak yang langsung bergidik dan teriak “sakit bangeeeettt”, tapi ternyata ada sekelompok anak yang bilang “ngga sakit lho! beneran” dengan bangganya. Jadi disuntik itu sebenarnya, sakit atau tidak sih? Apakah sekelompok anak yang berkata tidak sakit adalah anak yang berbohong? Sudah menjadi fitrah, apabila terjadi proses yang bukan ‘business as usual’ dalam tubuh, maka akan ada sinyal pesan yang disampaikan ke otak. Pesan ini bermanfaat agar pemilik tubuh dapat memilih respon dan menentukan apakah situasi ini berbahaya atau tidak. Maka, sudah menjadi hukum alam, jika kulit ditusuk dengan jarum, maka ada pesan yang akan disampaikan ke otak, bahwa sesuatu sedang terjadi. Pesan ini diketahui dengan adanya sensasi dalam panca indera. Mari kita sebut sensasi (yang belum diberi nama) ini dalam skala 1-10. Sebenarnya, kisaran skala dari sebuah kejadian yang sama tidak akan jauh berbeda. Contohnya, sensasi kulit ditusuk jarum ada di skala 4-5. Kembali ke terminologi sakit. Menurut The International Association for the Study of Pain, sakit adalah sensasi tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang terkait kerusakan jaringan, atau sesuatu yang berpotensi untuk merusak jaringan, atau sesuai deskripsi dari kejadian yang bersangkuatan. Sakit menurut KBBI berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu (demam, sakit perut, dan sebagainya) Nyeri, menurut KBBI adalah rasa yang menimbulkan penderitaan Dari berbagai macam versi pengertian sakit, kita bisa lihat bahwa seluruh makna ini sifatnya subyektif, merupakan persepsi atau cara pandang. Maka, bisa jadi sensasi skala 4-5 bagi satu orang disebut sebagai sakit, namun bagi orang yang lain disebut tidak sakit. Walaupun mengalami skala sensasi yang sama, namun bisa saja satu pihak merasa trauma dan takut mengalaminya lagi, namun pihak lain merasa sensasi tersebut tidak menimbulkan masalah buatnya, dan dia tidak takut mengalaminya lagi. Karena sakit merupakan persepsi, maka sebuah momen persalinan, bisa sakit, bisa juga tidak. Dalam persalinan, upaya untuk memanipulasi atau menggeser persepsi terhadap sensasi kontraksi inilah yang disebut sebagai pengelolaan nyeri. Cara pengelolaan nyeri ini ada yang perlu dipraktekkan langsung pada hari H dengan latihan latihan jauh hari sebelumnya, maupun dilakukan sesegera mungkin ketika kita sadar bahwa kita perlu menyetel ulang persepsi terhadap nyeri persalinan. Yang perlu dilakukan jauh sebelum proses persalinan adalah mempelajari fisiologi persalinan dan memahami bahwa sensasi tidak nyaman mungkin akan muncul sebagai akibat tubuh kita berfungsi dengan normal, dan hal tersebut adalah indikasi baik. Kedua, bagi muslim, adalah dengan menyadari bahwa sakit adalah sebuah jalan penggugur dosa, maka jikapun persepsi yang muncul pada hari H adalah sakit (yang mana belum tentu sakit), maka kita bisa menjalaninya dengan syukur dan bahagia karena dosa dosa yang berguguran. Selanjutnya, adalah berbagai macam teknik mulai dari teknik nafas, relaksasi, bantuan visualisasi, gerakan fisik tertentu baik yang dibantu maupun tidak, dan lain lain. Inilah mengapa Anda juga bisa banyak temukan video persalinan yang sang ibu hanya bersantai, tersenyum, tertawa atau mungkin yang terlihat merasakan sakit namun mampu mengelola dengan baik sehingga tetap santai dan rileks. Bahkan pada kondisi tertentu yang sangat meditatif (khusyu’) Anda bisa saja tidak merasakan persepsi sakit sama sekali (zero pain). Tentu saja, zero pain ini adalah bonus ya, tidak perlu menjadikannya sebagai target. Kalau ternyata persepsi Anda masih sakit, kembalikan saja lagi pada syukur atas dosa yang berguguran, dan pada pemahaman dasar bahwa tubuhnya bekerja dengan baik. Apabila kita menguasai teknik pengelolaan nyeri dan mengubah sudut pandang, bisa saja seorang ibu berkata “Melahirkan itu ngga sakit kok” karena memang itulah yang dia rasakan, sebagaimana anak kecil dengan berani menyemangati teman sebayanya dan berkata “disuntik itu ngga sakit kok”.
0 Comments
Sebagian dari Anda mungkin ada yang masih ragu untuk mengikuti yoga kehamilan karena khawatir kegiatan yang dilakukan didalamnya tidak sesuai dengan harapan atau memenuhi batasan Anda. Berikut ini kami jabarkan mengenai aktivitas yang dilakukan dalam kelas kami (tidak selalu berurutan dan tidak selalu ada, tergantung tema dan suasana yang dibangun 1. Olah pernafasan Olah nafas adalah bagian yang sangat penting pada prenatal yoga, dilakukan dalam posisi diam (bisa duduk, bisa berdiri). Latihan nafas bisa membantu Anda mempebesar kapasitas nafas normal paru sehingga nafas semakin dalam. Beberapa teknik nafas juga bisa membantu proses mengejan saat persalinan. 2. Latihan Kardio Yaitu olah fisik yang melibatkan beberapa pose yang dilakukan mengalir, mulai dari berdiri hingga posisi ‘melantai’ lalu berdiri lagi. Latihan ini memiliki manfaat meningkatkan aktivitas jantung sehingga peredaran darah meningkat. 3. Latihan fokus pada keseimbangan (balancing), penguatan tubuh (strengthening), dan kelenturan (flexibility exercise). 4. Latihan fokus pada stimulasi meridian tubuh atau myofascia (selubung otot) di daerah tertentu. Sebenarnya, seluruh gerakan peregangan dapat menstimulasi meridian tertentu pada tubuh. Meridian adalah jalur energi yang berhubungan dengan sistem organ menurut Traditional Chinese Medicine (TCM). Secara umum, stimulasi ini bertujuan supaya seluruh sistem organ tubuh menjadi sehat sehingga Anda dapat menjalani kehamilan yang fit dan kerja sistem organ yang terkait dengan persalinan menjadi baik. 5. Guided Relaxation (Relaksasi dipandu). Panduan dalam relaksasi tergantung tema, namu secara umum adalah panduan bagi peserta untuk kembali fokus ke masa kini dan sekarang, mengajak untuk merasakan sensasi tubuh dan perasaan. Instruktur akan memandu peserta untuk menerima kondisi yang ada dan merasakan segala perasaan dan sensasi masa kini. Tujuannya adalah supaya peserta berlatih untuk menjadi peka terhadap diri sendiri, terhadap alarm kebutuhan tubuh, dan meningkatkan bonding dengan janin (karena berlatih untuk lebih sensitif). Kepekaan ini sangat dibutuhkan dalam menjalani kehamilan dan persalinan. Selain itu, panduan ini juga membantu peserta untuk lebih tenang dan terhindar dari pikiran yang berisik (stress, terlalu memikirkan masa depan atau masa lalu, memikirkan deadline dan kesibukan) yang biasanya menyebabkan kita abai terhadap sinyal kesehatan yang disampaikan oleh tubuh. 6. Aromaterapi Kami kadang kadang menggunakan alat difuser untuk menyebarkan aromaterapi ke seluruh ruangan untuk membantu menciptakan suasana tenang, nyaman dan rileks. Aroma yang digunakan berasal dari minyak atsiri (essential oil) yaitu ekstrak murni tumbuhan tertentu. 7. Musik Kami menggunakan latar belakang musik instrumental (tanpa vokal), ada yang melodis adapula yang ritmis Demikian penjabaran kelas Yoga Prenatal. Apabila ada keberatan Anda mengenai bagian dari latihan atau situasi kelas seperti yang dijabarkan di atas, Anda dapat meminta kelas privat dan menghilangkan bagian yang Anda merasa tidak perlukan atau tidak Anda inginkan. Contoh: Bisa jadi Anda tidak suka dengan musik atau tidak memperbolehkan adanya musik, maka Anda bisa meminta kelas privat yang dilakukan tanpa musik. Selain alasan alasan untuk mengusahakan persalinan pervaginam, ada tambahan juga untuk mengusahakan agar spontan alami. Yang dimaksud alami adalah meminimalisir intervensi medis jika tidak ada indikasi harus dilakukan intervensi (selain operasi), seperti induksi dengan aneka metoda, infus, penghilang rasa sakit (epidural), episiotomi, kristeller.
1. Menunggu kontraksi datang secara alami (tidak mempercepat dengan induksi, atau terminasi dengan operasi) jika tidak ada indikasi komplikasi Proses matangnya paru paru dan otak bayi terjadi di akhir kehamilan, yang menurut ACOG adalah sekitar usia kandungan 39 minggu hingga hampir 41 minggu[1]. Perhatikan bahwa matangnya organ ini memiliki rentang, jadi waktu matangnya bisa berbeda satu bayi dan bayi yang lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penilaian terhadap usia kandungan seorang ibu juga memiliki rentang galat (bisa jadi di dokter A perhitungannya 38 minggu dan di dokter B 39 minggu, tergantung akurasi alat USG dan akurasi informasi Ibu mengenai HPHT). Ketidakpastian inilah yang menjadi alasan lebih baik kita menentukan kapan yang disebut dengan akhir kehamilan, berdasarkan tanda dari alam, yaitu kontraksi spontan. Bayi yang dilahirkan melalui persalinan elective caesarean (sebelum 39 minggu) memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami (paru paru basah). Dalam hal perkembangan otak, sebuah penelitian menyatakan bahwa umur kandungan saat bayi dilahirkan (gestational age) berhubungan dengan kecerdasan anak. Lingkungan dalam rahim memberikan dukungan optimal pada perkembangan otak, dan ini bisa terganggu apabila anak anak dilahirkan lebih awal dari yang seharusnya[2]. 2. Menjaga orkestra hormon berjalan dengan lancar: Tidak memasukkan zat dari luar yang bisa mengintervensi kerja hormon, seperti induksi, menjaga mood dan perasaan Ibu. Dalam proses persalinan, terjadi orkestra hormon, yaitu kerja berbagai jenis hormon yang diproduksi alamiah oleh tubuh untuk mendukung proses persalinan. Hormon hormon ini ada yang bekerja sama sinergis, maupun antagonis (berlawanan). Munculnya hormon hormon ini pun terjadi di waktu yang berbeda beda, muncul tepat saat dibutuhkan. Ada pula hormon tertentu yang munculnya distimulasi hormon lainnya. Selain hormon, yang berperan penting adalah reseptor (penerima) hormon. Hormon dan reseptornya bekerja seperti 2 keping puzzle yang saling cocok. Adapula hormon yang memang berperan untuk memfasilitasi munculnya reseptor bagi hormon yang lain, misalnya estrogen yang meningkat menyebabkan reseptor hormon oksitosin meningkat dan semakin sensitif. Secara umum, keseluruhan hormon saling berhubungan. Gangguan atau intervensi pada kerja hormon, akan membuat kealamiahan kerja hormon pun menjadi terganggu. Sebagai contoh, pemberian hormon oksitosin sintetis untuk mempercepat persalinan (disebut dengan induksi). Oksitosin alami bekerja melalui mekanisme Fergusson Reflex, dikeluarkan berkala, sehingga kontraksi dialami berkala, dalam frekuensi tertentu, durasi tertentu, kemudian frekuensi semakin merapat. Sedangkan oksitosin sintetis, pemberiannya dilakukan melalui infus, sehingga konsentrasi hormon masuk terjadi terus menerus. Pada kontraksi alami, oksitosin bekerja dalam harmoni dengan beta endorfin (hormon pereda nyeri), oksitosin yang meningkat memberi pesan agar endorfin dikeluarkan. Sebaliknya keberadaan endorfin meregulasi oksitosin. Hubungan ini tidak terjadi dengan oksitosin sintetis, bahkan oksitosin sintetis bisa menghambat beta endorfin. Maka, proses induksi dengan oksitosin sintetis dikenal lebih menyakitkan. Singkatnya, interupsi dari luar terhadap persalinan bisa mengakibatkan orkestra hormon tidak dapat menghasilkan ‘harmoni’ yang diharapkan. Persalinan yang terhambat ini akan mengundang tindakan tindakan yang lain, sehingga pengalaman menjadi semakin tidak menyenangkan bagi Ibu. 3. Persalinan alami mempermudah kelancaran proses menyusui Kelancaran proses menyusui ini berhubungan juga dengan orkestra hormon. Saat proses persalinan, hormon oksitosin dihasilkan untuk membuat rahim berkontraksi. Seiring dengan semakin kuatnya kontraksi, hormon endorfin (hormon pereda rasa sakit)dihasilkan. Level endorfin yang tinggi membantu Ibu untuk mampu menahan rasa sakit, dan membantu Ibu untuk lebih fokus pada instingnya. Ketika bayi semakin turun, katekolamin dihasilkan. Katekolamin berperan dalam refleks mengeluarkan bayi, menjadi untuk Ibu, juga untuk bayi, sehingga hasilnya adalah ibu yang masih bersemangat dan bayi yang aktif. Ibu yang antusias dan bayi yang aktif sangat penting untuk inisiasi menyusu. Intervensi seperti induksi bisa mengganggu kealamiahan kerja hormon dan bisa menurunkan kesempatan menyusui dan menghambat sinergi dengan hormon prolaktin, yaitu yang memproduksi air susu[3]. Selain itu, dalam sebuah penelitian, Ibu yang diberi induksi oksitosin dan dikombinasikan dengan epidural mengalami kondisi level hormon oksitosin yang rendah saat menyusui. Secara umum, jumlah oksitosin sintetis yang diberikan selama persalinan memiliki korelasi negatif dengan level oksitosin sekitar 2 hari setelah persalinan[4]. Selain induksi dan epidural, secara umum banyak tindakan medis memberi tambahan ketidaknyamanan pada Ibu. Padahal, kondisi nyaman dan bahagia bagi ibu adalah syarat orkestra hormon berjalan dengan lancar. 4. Trauma Persalinan bagi Ibu dan Bayi Trauma persalinan, ada yang bersifat fisik, ada yang bersifat psikologis, yang bisa dialami oleh ibu maupun bayi. Kata “trauma” dalam dunia persalinan medis, memiliki asosiasi trauma fisik. Beberapa contoh intervensi yang berisiko memberikan trauma fisik misalnya forcep, vakum, dan kristeller. Adapun trauma psikologis bagi ibu, atau disebut Traumatic Childbirth, adalah situasi di mana Ibu mengalami tekanan psikologis akibat cedera yang Ibu atau bayi alami, atau rasa sakit atau kesedihan mendalam, yang menimbulkan efek psikologis dan/ atau fisik yang berkepanjangan.[5] Beberapa efek psikologisnya antara lain PTSD, dan hilangnya bonding dengan anak. Otto Rank, seorang psikoanalis menyebutkan bahwa semua manusia mengalami trauma dari proses dia dilahirkan melalui mekanisme yang sulit dihindari, yaitu pemisahan secara fisik dan psikis dari ibu. Rank mempercayai bahwa momen kelahiran,yaitu perpindahan lingkungan menuju situasi yang tidak menyenangkan akibat proses kelahiran, adalah pengalaman kecemasan pertama yang dialami manusia. Pengalaman ini, menjadi fondasi dari segala kecemasan yang akan dialami sepanjang hidup manusia[6]. Jadi bisa disimpulkan, segala kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami Ibu dan bayi, akan berpotensi menimbulkan trauma. William Emerson, seorang psikolog perinatal, menyatakan dari beberapa studi, ada 30% ibu mengalami trauma persalinan dan hingga 18% mengalami PTSD pertama setelah persalinan. Beberapa peneliti menemukan bahwa antara 30-90% bayi mengalami trauma larena proses kelahirannya, dan penyebabnya antara lain aneka intervensi medis. [7] Membiarkan proses persalinan apa adanya, menghindari segala tindakan yang tidak menyenangkan memberikan dukungan emosional terbaik kepada Ibu, adalah cara untuk menjadikan proses transisi bagi Ibu dan bayi selembut mungkin. Bayi yang lahir dengan minim trauma, diharapkan akan tumbuh dengan jiwa yang lebih sehat. Intervensi medis diharapkan hanya dilakukan jika manfaatnya lebih besar daripada risikonya, misalnya pada situasi di mana Ibu mengalami penyulit yang membuat proses alaminya terhambat sehingga risiko trauma justru meningkat pada kondisi dengan penyulit ini. [1]http://www.acog.org/About-ACOG/News-Room/News-Releases/2013/Ob-Gyns-Redefine-Meaning-of-Term-Pregnancy [2] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3408682/ [3] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1595228/ [4]http://scholarship.claremont.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1112&context=scripps_theses [5] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3950773/ [6] https://www.psychologytoday.com/blog/the-trauma-addiction-connection/201109/are-we-born-trauma [7] http://emersonbirthrx.com/wp-content/uploads/2011/01/2010SpringCranialWave.pdf Pernahkah pertanyaan ini muncul di benak Anda? Mengapa persalinan per vaginam sedemikian diperkenalkan kembali sebagai hal yang seolah lebih baik? Bukankah yang paling penting adalah ibu dan anak selamat, tanpa memandang metoda persalinan apapun yang digunakan? Gelombang kampanye gentle birth, yang membawa pesan untuk mengusahakan persalinan sealami mungkin sebelum memutuskan tindakan tindakan lain, datang bersama ‘gelombang gelombang’ lainnya yang mengkampanyekan hidup yang back to nature. Tapi, supaya tidak asal terseret arus atau ikut tren yang sekedar ‘hal keren yang kekinian’, kita tentu perlu untuk kritis, sejauh mana kita perlu memperjuangkan sesuatu, termasuk bersalin per vaginam. Buat apa sih? Alasan subyektif setiap ibu bisa bermacam macam di balik usaha mereka mendapatkan pengalaman bersalin normal. Ada yang karena takut operasi dan efek nyut nyutan di bekas jahitan yang konon terasa seumur hidup ; ingin lekas lekas beraktivitas dan paham persalinan pervaginam lebih cepat pulihnya; resisten dan trauma dengan dunia medis, karena menganggap medis modern menjauhkan kita dari kebijakan alam; menganggap ini adalah jalan perjuangannya ; bersalin pervaginam lebih murah; Ada pula yang merasa menjadi wanita dan ibu yang ‘sebenarnya’ dengan cara ini, dan lain lain. Setiap ibu bisa saja memiliki alasan pribadi dan berbeda satu sama lain yang didukung oleh referensi masa lalunya masing masing, se konyol dan sekontroversial apapun alasannya. Di luar faktor alasan pribadi yang bisa berbeda pada setiap ibu, kita perlu juga mengamati alasan obyektifnya. Berikut ini adalah beberapa dari sekian banyak alasan mengapa persalinan per vaginam perlu diusahakan. 1. Fetal Heimlich Maneuver Sepanjang pertumbuhannya, janin ‘bernafas’ dalam air ketuban dan meminumnya. Paru paru janin penuh dengan ketuban. Menjelang pematangan paru paru, tubuh memiliki mekanisme untuk membersihkan paru paru, dan kemudian diakhiri oleh mekanisme final, yaitu pemerasan paru paru bayi untuk mengeluarkan cairan dari paru paru bayi saat bayi melewati jalan lahir, yang dalam dunia kebidanan disebut Fetal Heimlich Meneuver. Istilah ini sebenarnya tidak dikenal dalam dunia kedokteran. Banyak sumber menyebutnya dengan istilah kompresi jalan lahir. Tentu saja, bayi lahir melalui operasi, tidak melewati saluran vagina , tidak mengalami mekanisme ini, sehingga risiko mengalami paru paru basah (transient tachypnea) lebih besar, bahkan risikonya lebih besar lagi jika operasinya dilakukan saat paru paru belum matang dan bersih melalui mekanisme internal tubuh. Maka, bagi yang memilih operasi terjadwal pun, ACOG merekomendasikan operasi dilakukan paling cepat pada usia kandungan 39, atau menunggu ada tanda tanda persalinan spontan[1] 2. Mikrobiome pada tubuh manusia [2] Microbiome adalah materi genetik dari mikroba (bakteri, jamur, protozoa, virus) yang tinggal di dalam tubuh manusia. Bakteri pada mikrobiome membantu kita untuk mencerna makanan, mengatur sistem imun, melindungi dari parasit, dan memproduksi aneka vitamin[3] Sepanjang hidup, manusia terpapar oleh mikroorganisme yang memiliki manfaat untuk segala aktivitas kehidupan. Dosis pertama mikroba didapatkan saat bayi dilahirkan. Jenis mikrobanya tergantung dari cara persalinan dan lingkungannya. Pada persalinan pervaginam, paparannya diperoleh melalui saluran lahir. Salah satu manfaat bakteri pada saluran lahir adalah untuk membantu mencerna makanan pertama. Yang dominan adalah Lactobacillus, Prevotella, and Sneathia[4] Sedangkan pada persalinan SC, bayi mendapatkan ‘dosis pertamanya’ dari campuran bakteri yang berpotensi patogenik, yang biasa ditemukan di kulit, dan rumah sakit, seperti Staphylococcus dan Acinetobacter. Maka, bayi yang lahir melalui SC tidak mendapatkan dosis pertama bakteri yang penting bagi pencernaan dan imunitas. 3. Operasi SC meningkatkan risiko beberapa penyakit[5], [6] Risiko umum yang dikenal akibat operasi antar lain Depresi Neonatal akibat anastesi umum, cedera janin (fetal injury) selama pembedahan dan/atau persalinan, gawat nafas (respiratory distress) dan komplikasi pada proses menyusui Data epidemiologi juga menunjukkan bahawa penyakit kulit (atopi) muncul lebih sering di bayi yang dilahirkan via SC daripada pervaginam. Studi juga menunjukkan bahwa ibu mengalami penundaan proses laktasi (keluarnya ASI) jika melahirkan melalui operasi SC. Maka, bayi yang lahir menjadi kekurangan dukungan awal yang berasal dari ASI, padahal ASI dibutuhkan untuk menstimulasi flora usus, di mana penundaan ini juga bisa memiliki efek lebih panjang lagi. Nah, begitu banyak dan berharga alasan obyektif mengapa persalinan pervaginam harus diperjuangkan, yaitu karena ini adalah salah satu upaya untuk menentukan kualitas generasi yang baru. Tentu alangkah baiknya jika alasan memperjuangkannya pun tidak sekedar takut sakit operasi, atau perwujudan keutuhan seorang wanita. Namun sesungguhnya, banyak sekali alasannya bukan?. Walaupun demikian, kita juga harus menyadari bahwa kehamilan yang patologis/berisiko tinggi memang ada walaupun jumlahnya sedikit. Maka kita harus tetap banyak belajar, mengenali tanda tanda bahaya, dan juga menemukan partner tenaga medis yang berintegritas yang bisa kita percaya untuk membantu memberikan masukan untuk mengambil keputusan dan membantu menentukan kapan perlu melakukan operasi. Selain alasan alasan untuk mengusahakan persalinan pervaginam, ada tambahan juga untuk mengusahakan agar spontan alami. Yang dimaksud alami adalah meminimalisir intervensi medis jika tidak ada indikasi harus dilakukan intervensi (selain operasi), seperti induksi dengan aneka metoda, infus, penghilang rasa sakit (epidural, ILA), episiotomi, kristeller. Kita lanjut di artikel selanjutnya ya. _____________________________________________________ Referensi [1] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2453515/ [2] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3759522/ [3] http://depts.washington.edu/ceeh/downloads/FF_Microbiome.pdf [4] http://learn.genetics.utah.edu/content/microbiome/changing/ [5] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3110651/ [6] www.acog.org › About ACOG › Newsroom › News Releases › 2013 |
AuthorRika Widjono ARSIP
December 2022
KATEGORI |