Lewat 2 buah pertanyaan besar, kelas hari ini diawali. Pertanyaan mendasar itu adalah ‘pendidikan itu apa sih’ dan ‘pengen punya anak seperti apa sih’?
Sesi ini membahas 2 buah pilar pendidikan CM. Pilar ini adalah syarat pendidikan/instrumen. Pendidikan adalah atmosfer Prinsip ini akan sangat berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya, yaitu ingin punya anak seperti apa? Jika kita ingin anak memiliki karakter A B C D, maka sudahkah kita orang tua menjadi seperti itu? Bagaimana kita menjadi pribadi yang menjalani hidup, adalah atmosfer bagi anak. Atmosfer tidak bisa direkayasa. Misalnya mau melatih anak suka buku, tidak bisa kita sebagai orang tua berpura pura suka buku. Satu satunya cara adalah kita harus suka buku juga. Atmosfer dalam hal ini bukan berarti anak diisolasi dalam lingkungan yang dianggap menguntungkan dan menyenangkan baginya, melainkan kita perlu menaruhnya dalam lingkungan yang tepat, yaitu lingkungan yang alami apa adanya, dengan relasi apa adanya serta tidak dibuat buat, dan juga layak. Atmosfer itu memancar begitu saja dari manusia dan benda, dibumbui cinta dan logika. Sekolah bisa saja punya kurikulum yang keren. Tapi yang akan menjadi proses pendidikan yang sangat berpengaruh adalah atmosfer: sesederhana warna dinding, musik yang mengalun, guru yang ramah. Tidak perlu melebih lebihkan peran yang akibatnya jadi menindas kepribadian anak sehingga lingkungannya menjadi artifisial. Artifisial adalah lingkungan yang dibuat buat, seperti menaruh anak di ruang kaca yang memang terkondisikan selalu menguntungkan anak, tapi akibatnya anak anak bisa bertumbuh ringkih. Alami adalah membiarkan anak bebas, namun terawasi dan terkondisikan sewajarnya. Saya jadi teringat dengan bagaimana imunitas tubuh terjadi. Tubuh manusia perlu mengenal sewajarnya penyakit yang ada di sekitarnya, kuman dan bakteri yang ada di tanah dan udara. Dengan itu tubuhnya pun bisa semakin kuat. Nah, walaupun prinsip pendidikan adalah atmosfer ini pro membebaskan anak secara alami, namun ada prinsip lain juga untuk memberikan batas, yaitu: Pendidikan adalah Disiplin Pendidikan adalah Disiplin Anak terlahir sebagai sosok pribadi tersendiri. Kebiasaan 10 kali lebih kuat membentu karakter dari bawaan lahir. Kebiasaan itu bagaikan api, bisa jadi baik efeknya, bisa pula buruk. Ketika kebiasaan buruk yang terbentuk, bayangkan ketika ini 10 kali lebih kuat membentuk karakter, bisa saja anak kelak menjadi sampah masyarakat. Naudzubillah. Misalnya anak yang cenderung aktif, dia bisa kok tenang dan diam, tapi harus latihan. Maka ada habit training. Disiplin ini akan terkait dengan masa depan anak, karena secara hubungan sebab akibat, ‘nasib’ bisa didapat dari pembentukan karakter yang baik. Maksud disiplin adalah pembentukan kebiasaan yang penuh pertimbangan. Ternyata, struktur otak bisa berubah mengikuti kebiasaan. Pada Abad 18, pengasuhan didominasi oleh hukuman, anak dipaksa berbuat baik, jika tidak maka dihukum. Namun saat ini, pendidikan bergerak ke sisi lainnya. Padahal kita hanya perlu menuju ke tengah. Pendidikan ibarat membangun rel kereta api menuju destinasi tertentu. Kebiasaan bagaikan api, bisa baik bisa pula buruk. Jika buruk, maka berpotensi menjadi sampah masyarakat. Kebiasaan baik pun bisa muncul dari konflik. Berhubungan dengan atmosfer natural, bayangkan saja ketika orang tua misalnya ibu sedang mengalami hal sedih. Dalam lingkungan yang direkayasa, bisa saja ibu mengkondisikan agar anaknya tidak melihatnya bersedih, hanya melihat yang bahagia bahagia saja, agar ia tak ikut bersedih. Namun bayangkan pula kondisi sebaliknya, jika ibu mengizinkan dirinya untuk menunjukkan emosi apa adanya termasuk rasa sedih, maka anak akan mendapatkan input baru yang membuatnya merespon hal tersebut. Responnya bisa jadi menghibur, menawarkan bantuan, dan yang semacamnya. Inilah yang dimaksud kebiasaan baik bisa muncul dari konflik.
0 Comments
Kelas Dasar Pendidikan Charlotte Mason bersama mbak Ayu Primadini NARASI Pertemuan 1 Satu hal yang mendasar dalam pendidikan: Manusia itu apa sih? CM menentang anggapan bahwa manusia dianggap biologis semata, mencari uang dan materialistik. Konsep manusia seperti ini yang disebut sebagai utilitarian. Inilah awal mula lemahnya karakter. Konsep ini muncul mendominasi dalam dunia pendidikan diawali pada saat Perang Dunia I. Pada saat perang, banyak kesulitan muncul dalam hidup sehingga ekonomi perlu ditingkatkan. Adapun agar ekonomi dapat ditingkatkan, maka tujuan ini perlu ditopang oleh pendidikan. Maka muncullah pendidikan yang bertujuan meningkatkan ekonomi. Pemikiran ini didukung oleh Karl Marx yang mengatakan bahwa edukasi dan ekonomi perlu disatukan. Hal ini dikritik oleh CM. Saat itu kapitalisme mendominasi, otomatis muncul konsumerisme, lalu menjadi individualisme. Gimana tuh alurnya? Coba kita perhatikan masyarakat yang hidup secara komunal. Dalam sistem ini, kepemilikan modal tidak terlalu relevan untuk hidup. Anggota kelompok masyarakat saling bantu membantu untuk memenuhi hajat hidupnya. Kapitalisme menyebabkan penguasaan bidang tertentu oleh individu atau kelompok. Selanjutnya masyarakat menjadi butuh uang untuk memenuhi kebutuhan, atau mungkin keinginan (yang berkedok kebutuhan, karena terkadang kebutuhan diatur oleh iklan kan, hehe). Akibatnya, manusia hidup untuk dirinya masing masing, bekerja, dapat uang, lalu belanja kebutuhannya masing masing. Kebersamaan dalam masyarakat semakin sulit. Akhirnya untuk bisa bertahan, manusia cenderung terjebak harus jadi 'pemenang, yaitu yang memiliki modal atau uang. Dengan kondisi tersebut, muncullah pendidikan meritokrasi, yaitu pendidikan individualis, mencari nilai bagus untuk menjadi berharga. Seseorang menjadi berharga jika menelurkan prestasi yang sifatnya materi. Dalam dunia industri, keberadaan manusia jadi seperti mesin, karena tujuannya hanya 'menang' dalam ukuran kapitalisme. Kelak, manusia menjadi suku cadang industri, bisa diganti ganti. Ini berbeda sekali dengan ukuran CM. Bagi CM, tujuan pendidikan adalah : menjadi manusia yang magnanimous. Terminologi bahasa Indonesianya: Insan Kamil. Manusia yang terbaik adalah yang menggunakan segenap potensinya untuk bermanfaat bagi umat manusia. Insan Kamil ini adalah manusia yang berimajinasi berbudaya (maksudnya bebas dan kreatif dalam pikiran namun tetap dalam koridor/batasan yang dipegang), memiliki kemampuan terlatih menilai dan menimbang, selalu siap menguasai kerumitan profaesi apa pun, tahu menempatkan dirinya sendiri dan bagaimana memanfaaatkan segala kelebihannya untuk meningkatkan kebahagiaannya kebahagiaan sesamanya,dan kesejahteraan masyarakatnya – satu sosok yang bukan cuma bisa mencari nafkah hidup, tapi tahu bagaimana caranya hidup. Rahmatan lil 'Aalamiin. Jadi, sebelum move on, kita harus menentukan dulu arah pendidikan ke mana. Visinya ke mana? Caranya bagaimana? Kalau visinya sudah cocok dengan CM, lanjut deh. Selanjutnya, kita harus juga memperhatikan hal yang disebut oleh M. Scott Peck dalam The Road Travel: “Kita suka ngga sadar, kita pikir kita berfilosofi A, tapi cara hidup kita jauh darinya” Ungkapan M Scott Peck tersebut bisa jadi banyak ditemui. Kita sudah punya visi yang ajeg, mengumpulkan sumber daya dan referensi untuk mendukung terwujudnya visi, namun pada kenyataannya terkadang kita tidqk sedang berjalan ke sana. Bisa jadi disebabkan karena dorongan mammal dan reptil brain nya lebih besar daripada human brain yang merencanakan visi misi. Ini adalah gambaran bagian otak manusia. Limbik adalah sistem emosi (perasa). Reptilian adalah sistem fight or flight. Neokorteks adalah otak berpikir, yang dimiliki manusia. Nah, karena kita punya neokorteks, harusnya bisa bersikap human, tapi seringkali mammal dan reptilian nya lebih besar. Misalnya tiba tiba tersulut emosi dan mengambil tindakan yang tidak dipikirkan secara matang. Maka langkah selanjutnya yang harus ditekankan adalah selalu mengevaluasi apakah pola hidup kita sudah sejalan dengan visi. Itulah sebabnya kita perlu sering sering refleksi. Menuju magnanimous bisa jadi perlu waktu seumur hidup. Prinsip CM #1 Children are Born Person
CM bukan children centered, bukan pula teacher centered, melainkan TRUTH CENTERED. Jadi, tugas orang tua adalah untuk mendidik, dan menjadi perpanjangan tangan Allah atau hukum kebenaran. Kekuasaan orang tua terbatas pada prinsip kebenaran. Semangaaatt!! Berikut ini adalah hasil rangkuman saya mengikuti Workshop Seni Bernarasi dengan narasumber Mbak Ayu Primadini. Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas tentang konsep bernarasi. Prinsip Narasi
Narasi juga bisa dilakukan dengan tertulis, sesuai dengan perkembangan anak. Kita bisa menggunakan panduan di bawah agar menjalankan narasi dengan tahapan yang benar. Memulai narasi tertulis
Demikian rangkuman workshop Seni Bernarasi. Jangan keburu merasa overwhelming ya. Untuk mengajarkan anak piawai bernarasi, maka kita pun sebagai orang tua/fasilitator memahami dan menginternalisasikan prinsipnya dulu pada diri sendiri. Let's do this! Start small! Berikut ini adalah hasil rangkuman saya mengikuti Workshop Seni Bernarasi dengan narasumber Mbak Ayu Primadini. Narasi adalah bagian yang mengambil peran penting dalam pendidikan Charlotte Mason. Secara praktek, narasi adalah kegiatan menceritakan kembali melalui lisan maupun tulisan. Namun secara pemahaman, kegiatan sederhana ini ternyata tidak sesepele yang terlihat. Pembahasan tentang narasi ini akhirnya tidak bisa berdiri sendiri, karena untuk melakukan narasi dengan benar, jadinya harus sedikit banyak tahu tentang filosofi CM. Beberapa quote yang sering muncul ketika membahas narasi dan Charlotte Mason yang menjadi pondasi konsep ini adalah sebagai berikut:
Satu satunya pendidikan yg akan bertumbuh adalah pendidikan mandiri. Fungsi guru adalah pembimbing, bukan sumber informasi bukan mediator. Seringkali kalo belajar gurunya jadi mediator dari anak dan ilmu pengetahuan, sumber informasi. Guru yang bertindak sebagai mediator, ibarat mengunyahkan makanan, melepehkan, lalu memberi makan anak muridnya sehingga muridnya lebih mudah memakan, padahal anak muridnya sudah punya gigi dan rahang yang sempurna untuk mengunyah. Dengan analogi seperti ini, kita sebenarnya sedang merendahkan kapasitas anak untuk berpikir. Semakin guru banyak mengajar, semakin siswa sedikit belajar. Murid tinggal telan hasil kunyahan. Narasi bukan alat ukur mengukur kemampuan anak seperti halnya ujian. Bukan juga metoda untuk mengingat rangkaian kata secara tepat. Melainkan sebuah proses untuk menjadikan ilmu menjadi ‘makanan’ bagi akal Bicara narasi, pada pangkalnya akan berhubungan dengan 3 pilar pendidikan CM
Mengenai prinsip dan hal teknis bernarasi, dibahas di tulisan selanjutnya ya. Ngacapruk Homeschooling
Tahu tidak, apa yang sedang jadi obrolan di grup homeschooling (HS)? Kebanyakan praktisi, terutama yang senior dan beken beken, meningkat jumlah pertanyaan yang masuk pada mereka. Jangankan yang senior, saya yang HS cuma dalam rangka cuti doang (bukan karena corona) dan masih bongkar pasang cara, juga dapat beberapa pertanyaan. Sayangnya, kita tidak bisa memulai HS yang terstruktur segera setelah kita memutuskan HS. Sekarang genap 9 bulan Rara di rumah saja, saya seolah baru mendapatkan kacamata minus 3 padahal saya minus 4. Baru mulai agak terang. Rutinitas masih jalan setengah setengah, sekitar 60 persen lah penyesuaiannya dari yang dibayangkan. Jadi jika praktisi yang kita jadikan narasumber tidak bisa memberi jawaban pasti, mohon dimaklumi, karena memang HS bukan sekolah, dan kita tidak bisa memandangnya dari sudut pandang belajar di sekolah. Jika mindset masih ala sekolah, dijamin stress bin frustasi. Di awal saya nimbrung di lingkaran HS pun saya seperti masuk hutan belantara berisi pohon yang subur dan aneka buah yang menggiurkan, karena setiap orang punya cara yang berbeda. Rasanya mau mencoba semua! Saking banyaknya ide akhirnya tidak bisa terjalani dengan baik juga, hehe. Maruk banget deh pokoknya. Tapi itu juga proses yang alami dan tidak salah kok. Walaupun kroco, tapi berhubung kroco ini ada penanyanya juga, izinkan saya berbagi apa yang saya lakukan yang belum tentu cocok sama Anda semua yah. 1. Kita tidak bisa memulai hal yang sifatnya akademis kalau belum punya habit (untuk belajar, disiplin melakukan tanggung jawab dasar). Habit harus dibangun pelan pelan. Kita bisa membangun habit anak andaikan urusan pengasuhan dan komunikasi kita udah menuju beres. Bantu anak menjadi anak yang patuh dulu. Mungkin ada yang merasa anaknya sudah dari sononya susah diatur. Percayalah, ada caranya, walaupun mungkin perlu waktu. Ada masanya sulung saya ngga mau nurut, nonton ngga mau distop dan mulai ada gejala addict. Untuk hal yang sifatnya jelas mudharat gini, saya merasa harus diktator dulu karena tidak bisa berharap pada proses. Sakaw sakaw deh. Sekalian nunjukin apa posisi kita sebagai orang tua. 2. Saya merasa sudah punya modal yang membantu buanget untuk memulai semua ini sebelum mencutikan Rara, yaitu tools parenting dari Enlightening Parenting (http://www.okinafitriani.com dan http://www.enlighteningparenting.com ), dan KBBM (Komunikasi Baik Benar dan Menyenangkan). Dengan dua senjata ini, alhamdulillah saya merasa bisa memposisikan diri menjadi orang tua sekaligus teman. Pengen sharing tapi kok tampak belum ada waktu nulisnya. Adapun materi EP bisa pantau di web dan IG nya aja ya. Kalo KBBM kapan kapan kalo modulnya ketemu saya ringkasin deh (huhu kmana ya tu modul). Ketika relasi dengan anak sudah mengarah ke baik, maka akan akan lebih mudah untuk melakukan coaching. EP dan KBBM, keduanya menggunakan prinsip seperti coach. Ketika kenalan dengan metoda Charlotte Mason pun, ternyata prinsipnya sama, yaitu percaya bahwa anak, walupun umurnya kecil, adalah manusia, yang sudah punya fitrah yang baik. Menurut EP fitrahnya adalah: iman, bertahan hidup, belajar, kasih sayang, interaksi, seksual dan tanggung jawab. Jadi 7 hal itu bukanlah hal yang harus kita ajarkan, tapi kita fasilitasi agar berkembang. Oke jadi untuk ‘dasar’, selain menggunakan panduan Quran dan Sunnah, saya pake 3 pendekatan itu ya, walaupun masih belum oke juga penguasaannya: EP, KBBM, Filosofi Charlotte Mason (yg ini baru kenalan banget). 3. Mengenai metoda, saya masih mentah dan meraba raba. Comot sana comot sini aja melihat pengalaman orang lain. Saat ini rutinitas wajib kami adalah: - Ibadah fardhu - Tilawah (Rara ½-1 hal, Raul selembar. Huhu perlu digenjot nih targetnya) - Tahfidz (nambah 1 ayat sehari. Kalau ayatnya panjang, 1 baris aja) - Berjemur (5-10 menit jam 11 siang. Tidak menerima debat kalau ada yang tidak setuju ya, hehe) - Lifeskill: bertahap aja pelan pelan, saat ini yang dirutinkan cuci dan jemur baju itupun masih bolong bolong dan harus diingatkan. Ternyata prinsipnya harus membentuk kebiasaan tuh satu persatu. Fokus ke satu hal, kalau sudah terbentuk habit nya, baru pindah ke yang lain. Jangan maruk. Gitu ceunah. Urusan lifeskill, saya mungkin masih kalah jauh dengan keluarga keluarga bahkan yang sekolah dan ortunya kerja. Ora popo lah, sesuai kemampuan saya aja, hehe. - Olahraga (15-30 menit). Kadang treadmill, sepatu roda, yoga via youtube, sekarang lagi belajar main tali rame rame mumpung lagi ada sepupu di rumah. - Akademik: Pakai IXL Math, IXL Science. Materi Bahasa Inggris sebenernya punya Reading Eggs tapi ternyata belum nemu kecocokan. Jadi Bahasa Inggris dimasukkan ke Read Aloud atau jam nonton. Kalau SFH nya masih hopeless, rencananya mau langganan Ruangguru untuk catch up dengan kurikulum nasional. - Narasi, yaitu membaca tulisan/buku lalu menceritakan kembali. Saya baru aja mencoba dengan cara baru yaitu menurut ‘SOP’ nya Charlotte Mason. Saya tulis tentang insight ikut workshop Narasi di https://rikawidjono.weebly.com/pengasuhan--keluarga/narasi - Circle time. Ini masih agak on off kalau saya sedang sibuk. Jadi kami membahas apa kesan kami terhadap hari yang sudah dilalui, mengarahkan anak anak untuk bersyukur, juga mengakui segala perasaan yang muncul di hari itu. Jadi macam macam hal bisa muncul di sini. Kegiatan wajib di atas makan waktu sebentar (dibanding waktu sekolah) dan bisa paralel. Sisanya pembelajaran mandiri sesuai mau mereka, asalkan tidak meninggalkan yang penting penting. Belajar untuk tahan banting dengan bosan, haha. Lama lama mereka bakal kreatif kok sehingga terbentuk dorongan belajar atau bermain mandiri. Daftar kegiatan di atas mungkin terlihat ribet atau ambisius. Tapi kalau habit belajar sudah kebentuk, masyaaAllah udah gampang maintain nya kak. Jadi buat yang lagi pengen cuti, kita taruh dulu beban beban ekspektasi dari pundak kita yuk. Jangan bayangkan target seperti kurikulum sekolah. Deschooling dulu beberapa bulan untuk membereskan pengasuhan dulu, bikin suasana penuh cinta dulu di rumah. Kalaupun nantinya akan kembali ke sekolah dan belum keburu menjalankan kurikulum HS karena masih dalam tahap menata diri, engga apa apa banget, karena hasil menata diri juga bermanfaat walaupun akhirnya nanti masuk sekolah lagi. Bismillah.. TaKemarin saya mengikuti online workshop mengenai Seni Bernarasi, dibawakan oleh Mbak Ayu Primadini. Saya tertarik belajar dari mbak Ayu awalnya dari menyimak “Rabu Galau” setiap kali ketemu sama bunda bunda Klub OASE. Di situ saya mengenal mengenai salah satu rutinitas dalam metoda Charlotte Mason (CM), yaitu Narasi melalui dongengannya Mbak Ayu, salah satu pentolan praktisi CM. Singkatnya, narasi adalah menceritakan kembali isi tulisan sebuah buku, atau bentuk presentasi yang lain. Itu yang saya tangkap dari obrolan singkat bersahut sahutan sambil menunggu anak anak kami beraktivitas. Wah, ternyata saya sudah melakukannya selama ini. Jadi, seiring dengan pertambahan umur anak anak, selain menambah privilige semakin mendekati privilege orang dewasa, saya juga menambah tanggung jawab dan tugas wajib hariannya. Kalau istilah salah satu guru saya, Kiki Barkiah, namanya ‘standar pagi’ atau ‘standar sore’. Salah satu standar sore adalah membaca buku siroh dan menceritakannya kembali. Raul sudah menjalankan rutinitas ini sekitar sejak umur 8 atau 9 tahun saya lupa. Secara santai saya mulai meminta Rara (menjelang 8 tahun) melakukan hal yang sama, ternyata dia menyambut dengan baik tanpa penolakan, karena dia sudah melihat kebiasaan kakaknya dan mungkin di bawah sadar sudah menerima bahwa ini hal yang harus dilakukan suatu saat nanti. Flashback saat awal mula saya meminta Raul ber’narasi’ (saya pakai tanda kutip karena masih merupakan narasi ala saya), kami sama sama mengawalinya dengan stress. Saya stress karena punya ekspektasi standar tertentu mengenai kualitas bernarasi. Raul stress karena saya bilang seharusnya begini dan begitu, tapi dia belum bisa memenuhinya. Jadi, kami sering ‘berantem’ karena dia salah terus dan saya mengkoreksi terus. Memang sih, saya sadari mensarikan sebuah tulisan beberapa paragraf dalam kata kata sendiri bukan pekerjaan mudah. Tapi bukankah ini intinya belajar? Belajar adalah mengalami masa masa tidak enak belum mengetahui atau menguasai sesuatu. Jadi kalau saya koreksi, dia harus terima dengan lapang dada, itu doktrin yang saya selalu tanamkan, hehe. Sampai sekarang saya tetap menganggap demikian untuk beberapa hal. Namun jika direfleksikan kembali, ‘berantem’ ini menjadi kontraprodutif dengan salah satu pendekatan pengasuhan yang saya yakini yaitu rapport building alias membangun kedekatan. Masa iya saya musti mengorbankan rapport building untuk urusan belajar literasi? Memang benar belajar akan melibatkan rasa tidak nyaman di awal. Namun alangkah baiknya kalau dorongan untuk ‘mendobrak diri’ melawan ketidanyamanan itu datang dari dirinya sendiri bukan? Dan untuk menumbuhkan itu semua, saya sadar pendekatan mendikte, memberi tahu salah dan benar, tidak selalu tepat, bahkan seringnya tidak tepat. Tapi di sisi lain saya juga belum menemukan cara yang lebih baik, sehingga masih menjalankan business as usual. Lagipula, saya sudah melihat hasil nya pada Raul. Dia yang awalnya kesulitan mengingat apa yang dia baca, sekarang sudah piawai, bisa membaca cepat dan menarasikannya kembali. Jadi, sebelum mengikuti Workshop mbak Ayu tentang Seni Bernarasi, saya sedang menjalani stress stress ria bersama Rara, karena kami sedang di tahap awal menjalani rutinitas “narasi”, dan saya sedang gemas gemasnya sama Rara yang cenderung bercerita kronologis yang panjang dan membosankan untuk disimak, dengan alur yang super lambat, alih alih menceritakan esensi atau inti cerita. Setelah menyimak pemaparan mbak Ayu di Workshop Seni Bernarasi, ternyata saya melakukannya dengan cara yang salah jika dipandang melalui panduan narasi ala CM. Panduan ala CM benar benar gentle dan harus punya ‘iman’. Maksud iman di sini adalah benar benar percaya kapasitas anak sebagai pembelajar alami, sebagai human being yang Allah sudah install dengan perangkat lunak kemampuan belajar yang sempurna. Saya pikir, “This is it!!”, metoda lebih baik yang saya cari, tanpa menimbulkan mudharat yang saya khawatirkan. Insyaa Allah. Apa yang jelas harus saya perbaiki, adalah kesabaran. Proses bernarasi ini adalah perjalanan panjang, bahkan bisa jadi tidak ada panduan milestone alias pencapaian apa harus dicapai kapan. Sebagai emak emak didikan teknik, saya terbiasa melihat milestone, benchmark, threshold limit, dan semacamnya. Tanpanya saya cenderung ingin target segera tercapai karena khawatir berpanjang panjang melakukan hal yang tidak efektif. Menariknya, walaupun pencapaian tiap anak bisa beda beda, tapi pendekatan narasi CM sangat baku, jelas, dan yang paling penting adalah masuk akal saya untuk mencapai tujuan. Panduan secara rinci saya coba rangkum di tulisan terpisah ya. Di sini saya ingin menceritakan apa yang jadi sorotan buat saya pribadi. Habit Training Anak memiliki fitrah keteraturan dan mentaati aturan. Itu yang saya pelajari juga dari Enlightening Parenting dan Montessori. Salah satu esensi dari bernarasi adalah habit training, tepatnya habit of attention dan habit of thinking. Seiring dengan banyaknya urusan dan kemudahan teknologi di masa kini, kita sering terjebak pada multitasking dan multithinking yang berakibat juga pada perhatian dan fokus yang sering pecah. Itu saya alami juga. Mengalami banget! Mengalami ngobrol sama orang tapi hilang fokus karena tiba tiba kepikiran hal lain. Habit of attention dilakukan dengan cara membacakan buku hanya sekali. Nah! Ini dia salah satu sumber stress saya, haha. Seringkali saya berusaha mengulang ulang membaca buku untuk memastikan anak bisa menangkap isi cerita, sehingga yang terjadi adalah saya menyuapi anak agar infonya bisa masuk ke otaknya, ketimbang si anak sadar untuk harus fokus agar dia mengerti. Udah mah capek mengulang ulang, anaknya juga nggak ngerti ngerti :D. Nah, dengan mengetahui bahwa mengulang ulang tidaklah perlu, dan itu dilakukan justru untuk tujuan tertentu, saya bisa mengurangi sumber stress saya, dan anak mendapatkan ‘pelajaran’ habit of attention. Ketika anak paham bahwa orangtuanya tidak akan mengulang, dia akan punya kesadaran di lain waktu untuk fokus mendengar. Kembali pada proses yang butuh waktu, di mana tujuan ini mungkin tidak akan tercapai dalam 1-2 kali sesi. Ini semua butuh keyakinan, keyakinan bahwa langkah ini benar dan akan mencapai tujuan. Tapi dengan melihat kemampuan komunikasi mbak Ayu yang kece dan bagaimana anak anaknya, saya bisa cukup yakin, hehe. Habit of Thinking dilakukan dengan tidak menginterupsi anak saat bernarasi. Iya! Tidak boleh interupsi, dalam artian mengkoreksi atau mancing mancing kaya guru TK mengatakan “Awan berwarna puuu.....” (you know :D), bahkan jika anak hanya bernarasi dengan SATU kata sekalipun. Gemes ga sih? Haha. Tapi jika saya sadar ini memiliki tujuan, lagi lagi saya bisa mengurangi sumber stress saya. Saya akan tahu bahwa jika saya tidak interupsi, bukan berarti proses pembelajaran tidak terjadi. Justru proses pembelajaran yang esensial terjadi jika saya tidak banyak ‘nyap nyap’. Ya ampuun ini cucok banget sama karakter saya yang aslinya nggak suka ngomong :D Menurut CM, pendidikan adalah atmosfer. Ketika kita gemesss karena menganggap anak tidak bisa, kita menciptakan atmosfer kasihan, atmosfer superior yang merendahkan kapasitas anak (sebagai pembelajar alami). Saya juga sejak awal sudah punya modal mempercayai bahwa ‘atmosfer’ akan masuk ke bawah sadar, dan apa yang ada di bawah sadar akan menjadi penggerak fisik dan pikiran sehingga pada waktunya akan membentuk realita. Saya, merendahkan kapasitas anak?. Tidak pernah terpikirkan dalam realita alam sadar saya. Tapi nyatanya saya melakukannya :( Saya menyelesaikan menyimak workshop ini dengan kelegaan, mengetahui bahwa melatih dan mendampingi anak belajar menyarikan tulisan, menyampaikan ide, ternyata secara teknis tidak sulit dan tidak makan waktu lama dalam sehari. ‘Hanya’ butuh konsistensi dan tidak terburu buru ingin melihat hasil. Konsistensi memang merupakan isu sejuta emak, ya kan :D Saya biasanya masih sering gagal konsisten di hal yang makan waktu, seperti misalnya harus olahraga mandiri selama minimal 1 jam :D Tapi mengetahui fakta bahwa ini tidak perlu waktu lama, membuat saya lebih optimis dan semangat. Malam itu selepas WS, saya membuka lagi sebuah buku anak yang sebelumnya saya bacakan sebagai sebuah chore, alias pekerjaan, sehingga saya sendiri juga kurang paham isinya. Sebelumnya kami sama sama tidak menikmati buku itu. Akhirnya saya coba berjuang dikit untuk memahami cara bertutur penulis dan penokohannya, baru membacakan santai buat Rara tanpa target tinggi sebagaimana sebelumnya. Anak ini, menyimak dengan menikmati dan berbinar binar, dan tanpa sadar kami sudah membaca berlembar lembar, dan dihentikan oleh malam yang semakin larut dan juga kantuk. Bahkan kakaknya diam diam ikut menyimak dari jauh dan menikmati. Belum narasi sih, karena memang targetnya hanya buat bedtime stories. It feels good when you do it in the right way and the right atmosphere. Alhamdulillah.
Hal yang jadi momok buat orang tua di masa social distancing : Rasa bosan! Beberapa tahun lalu saya pernah mengikutkan Raul ke program pesantren kilat 9 hari di Bulan Ramadhan. Saat mengantarkannya, saya agak kaget. Tempat itu sangat minim fasilitas. Tempatnya memang besar, berisi dari ruangan aula untuk tidur beramai ramai tanpa AC, kamar mandi dengan fasilitas air saja, dan kantin yang otomatis tutup karena bulan Ramadhan. Sudah, itu saja. Melihat jadwal sehari hari pun hanya dominan membaca dan menghafal Al Quran. Pesertanya pun banyaakkkk sekali sehingga saya sempat berpikir apakah anak ini akan terperhatikan. Beneran kaya gini nih? Nanti kalau bosan gimana? Kalau stress gimana? Di rumah kan ada AC, ada lego, dan bahan bermain lainnya. Di situ ngga ada sama sekali! Tapi bismillah, saya titipkan pada Allah dan berusaha tidak ikut arus kebanyakan orangtua yang ikut sanlat yang setiap waktu minta foto dan minta info kabar terakhir, hehe. Saya jadi teringat juga obrolan yang lupa di mana, mengenai pembelajaran klasik ala kuttab di mana guru adalah pusat. Murid lah yang harus mencari guru, memiliki adab. Muridlah yang harus ‘bikin seneng’ gurunya. Murid yang harus kreatif mencari cara agar bisa memahami gurunya yang sulit dimengerti (pasti pernah kenal kan orang yang pinternya kebangetan tapi kalau bicara agak sulit dipahami, padahal kita butuh banget mensaripatikan ilmunya). Murid harus tahan duduk berlama lama, harus terbiasa dengan rasa bosan, sampai mereka bosan menganggap serius rasa bosannya, sehingga tak memikirkannya lagi. Mbulet ya, haha. Kalau tidak begini, maka tidak mungkin lahir ulama ulama di masa lalu yang sampai hafal ribuan hadis, ya ga sih. Sepulang sanlat, saya tanya bagaimana kesannya. Pasti ada rasa bosan. Tapi ternyata, mereka tetap bisa menemukan cara bermain di dalam keterbatasannya. Di waktu luangnya, hampir setiap hari anak anak ini berburu capung :D They enjoyed it a lot. Saya sih percaya, belajar terbaik bukan yang teacher-centered atau yang student-centered, melainkan sebuah kesatuan yang harus diperhatikan. Sebagai murid, maka dia harus berpikiran teacher-centered. Sebagai guru, dia harus memperhatikan muridnya. Harus seimbang. Wah kebayang kalo ga seimbang jaman sekarang, belajar murid di sekolah bakal disetir sama aspirasi orang tua yang berbagai macam dan punya kepentingan pembelajaran sendiri, apa ga pusing tuh sekolahnya, hehe. Di sisi lain, sekolah yang gurunya model ‘jaman dulu’ yang ga bisa dikritik sama sekali pun tidak sehat. Wait wait, kok rasanya jadi melenceng dari judulnya, haha. Mari get back. Untuk membersamai anak, kita perlu banget punya perencanaan, walaupun itu merupakan perencanaan untuk tidak membuat kegiatan apa apa pada waktu tertentu. ‘Belajar bosan’ di sistem klasik pendidikan ala peradaban Islam di masa lalu saya temui persamaannya dengan yang saya lihat di metoda Charlotte Mason (CM). Sempat bingung sama sharing pengalaman seorang CM-er karena ternyata mereka cuma belajar akademik selama 1 jam dan sisanya bebas :D Serius, sebebas itu dan tidak ada program apa apa dari ortu yang sifatnya musti ada dalam kendali ortu. Ternyata, beda lho ‘tidak melakukan apa apa’ yang dilakukan dengan filosofi yang dalam, dengan mengabaikan anak. Dalam “doing nothing” sebagai bagian dari proses pembelajaran, orang tua tetap menjadi pengamat dan mengevaluasi perkembangan anaknya. Beda sama anak yang berhenti sekolah yang ortunya benar benar have no clue mau diapakan anaknya. Kebetulan saya orangnya rada sibuk, hehee, jadi pusiiing banget bikin home education planning yang tiada kunjung selesai. Kadang hari itu ada rencana, kadang tidak. Maka saya sering dihadapkan dengan situasi anak bosan dan ngga ngapa ngapain. Tapi satu hal yang menjadi kunci saya adalah briefing. Dalam berbagai situasi yang sudah terprediksi mereka akan bosan, saya akan banyak bertanya: “Kalau kamu bosan besok, kira kira mau ngapain ya? Apa yang perlu disiapkan ya? Dst” Atau kalau berhadapan dengan situasi tidak terprediksi, saya akan jawab, “Iya ya, sama.. bunda juga bingung mau ngapain. Gimana dong, ada usul?” Maka sepertinya anak anak saya udah bosen curhat sama saya, haha. Karena kalau mereka curhat bosen, mereka sudah hafal kalau saya akan balikin lagi solusinya ke mereka. Let them be bored for a while, and you will be amazed of what they are capable of. Sesuatu yang mereka lakukan atas keinginan mereka sendiri, ternyata bisa lebih total ketimbang hal yang diminta oleh orang lain. Dan saya bersyukur sudah (dan mudah mudahan terus begini) melewati masa di mana anak bingung mau ngapain, karena mereka sudah terbiasa untuk menghibur dirinya dan mendapatkan cara untuk menyenangkan diri sendiri tapi yang sekaligus merupakan media belajar. Misalnya nih kalau ada tugas membuat craft yang agak rumit dari sekolah yang harus gunting kecil kecil. Duhhhh, susah banget lho membuat anak anak mau menjalankan hal yang rumit, apalagi motorik halusnya masih belum paripurna, seperti Rara. Ujung ujungnya emaknya gemes ngebantuin karena anaknya lelet banget ya kaan, haha. Tapi coba saja kalau kita hanya sediakan alat alat craft di rumah dan ‘do nothin’ about it. Suatu saat kalau mereka ‘hampir mati kebosanan’ dan melihat potensi bersenang senang dari alat craft itu, ide ide akan banyak bermunculan di otak mereka, dan mereka akan dengan senang hati melakukan hal hal yang detail yang sudah muncul dalam otaknya. Terakhir saya terkagum kagum sendiri pada hasil craft Rara membuat mesin ATM. MasyaaAllah itu detailnya luar biasa, ngeguntingin uang satu persatu, dan setiap tombol mesin, membayangkan prosesnya saja saya udah males duluan. Tentu saya males, karena saya tidak melihat miniatur ATM sebagai hal yang fun lagi buat seusia saya, ya kan. Tiba tiba saja benda ini jadi, tanpa saya mendampingi dan mendikte harus diapakan. MasyaaAllah.. Jadi... kalau anak anak sudah mulai bosen, gimana? Well, we don’t have to be always the one who is responsible for their joy. InsyaaAllah ini saat emas untuk mereka (dan kita juga) belajar mengeksplorasi apa yang mereka bisa lakukan untuk mengatasi kebosanan diri sendiri. Great ideas come from that bored minds. (dimuat di theurbanmama.com) Sudah sejak lama saya terkesan melihat video bayi berenang. Ya, bayi. Usianya mungkin masih empat bulan hingga di bawah satu tahun. Ada pula video mengenai batita yang tercebur ke kolam renang, tetapi berhasil menyelamatkan diri dengan kemampuannya berenang. Saya juga membaca dari beberapa artikel tentang refleks bawaan bayi terkait berenang yaitu refleks menyelam (refleks menahan napas di air) dan bergerak menyerupai berenang. Selama hamil dan mempersiapkan kelahiran Rara, saya juga sering menonton video waterbirth dan memang benar sih, bayi waterbirth saat baru dilahirkan biasanya dibiarkan selama beberapa detik dalam air dan bergerak-gerak seperti berenang, tidak tersedak atau kemasukan air karena menahan nafas. Tetapi jangan disalahartikan bahwa bayi otomatis punya kemampuan berenang ya. Refleks seperti berenang dan bisa berenang adalah dua hal yang berbeda. Bayi baru lahir TIDAK memiliki kemampuan berenang. Jadi di video batita yang bisa berenang menyelamatkan diri itu, saya duga memang sudah dilatih bisa berenang. Saya tertarik untuk melatih bayi berenang, tetapi terlupakan karena belum menemukan tempat belajar berenang untuk batita. Sempat kepikiran juga, apakah akan berlebihan atau tidak ya kecil-kecil sudah belajar berenang. Toh nanti kalau sudah umur lima tahun akan lebih mudah diajar, begitu salah satu bahan pertimbangan saya. Akhirnya ide tersebut muncul lagi dan saya pun mendaftarkan Rara ke Anak Air Swim School. Ternyata sekolah berenang Anak Air menerima anak minimal berusia enam bulan. Dari yang saya baca, AAP (American Academy of Pedicatrics) menyarankan usia minimum untuk belajar berenang adalah usia satu tahun. Namun saat itu Rara sudah berusia 2 tahun, jadi sudah bisa diajarkan untuk berenang. Waktu itu alasan saya akhirnya memasukkan Rara ke kelas berenang selain untuk belajar survival, juga untuk mengoptimalkan stimulasi motorik. Berenang bagi bayi dan batita juga memiliki manfaat lainnya antara lain baik untuk kesehatan jantung, meningkatkan kekuatan paru paru, meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas, meningkatkan stamina, keseimbangan serta postur tubuh. Beberapa artikel lain juga menyebut bahwa belajar berenang bisa meningkatkan IQ anak, tetapi mengenai IQ ini masih berupa klaim dari pihak-pihak yang menawarkan kelas renang atau dari beberapa artikel populer yang sulit dilacak sumber referensinya. Rara sempat pindah kelas renang ke Rockstar Gym karena alasan kepraktisan dan lokasi. Ternyata Rockstar Gym menggunakan standar metoda yang sama dengan Anak Air, yaitu American Red Cross. Bedanya, di Anak Air semua anak belajar privat walaupun durasi hanya sebentar, sedangkan di Rockstar Gym belajarnya dalam grup, kecuali kalau memang mau privat. Adapun semua aktivitas kelas renang harus dilakukan dengan pendamping (kelas Mom & Me). Untuk kelas pemula, tujuannya adalah agar anak terbiasa dalam air, tidak takut serta merasa nyaman dimana aktivitasnya didominasi bernyanyi dan bermain. Di kelas pemula banyak menggunakan bola bola plastik dan mainan yang bisa diraih anak-anak. Untuk pemula seperti Rara, saya merasa Rara lebih cocok beraktivitas dalam grup daripada privat. Anak sekecil Rara rentang fokusnya (attention span) sangat singkat, kalau belajar dalam kelas privat lebih cepat bosan dan tidak ada obyek pengalihan. Adapun dalam kelas grup, kalau Rara merasa capek bisa istirahat sebentar sambil mengamati teman-temannya. Dari mengamati ini kan sebetulnya proses belajar juga. Istirahat bisa dipakai untuk mengamati sambil membujuk. Kalau mood sudah membaik, barulah bergabung lagi dengan grup untuk mengikuti instruksi. Pembelajaran berenang yang serius dalam kelas pemula ini contohnya menggerakkan kaki (gaya bebas), telentang serta memasukkan semua bagian kepala ke dalam air. Belajarnya dilakukan dengan bermain. Misalnya anak disuruh mengejar bola dan mainan yang disebar di kolam, atau memindahkan mainan dari pos satu ke pos lainnya. Permainan ini melibatkan gerakan kaki. Belajar telentang dilakukan dengan berperan tidur dan menyanyikan lullaby. Menurut saya, yang paling keren dan menegangkan dari kelas ini adalah belajar memasukkan kepala ke dalam air. Proses ini juga dilakukan dengan bermain, misalnya menggunakan hoola hoop yang setengahnya masuk ke air, lalu anak dibantu untuk melewati hoola hoop tersebut dengan menyelam kira kira 1 hingga 2 detik. Proses ini tidak boleh dilakukan kalau anaknya kelihatan tidak siap yang biasanya ditandai dengan menangis sampai teriak-teriak atau badannya meronta-ronta ingin kabur. Untuk sampai ke tahap ini, kebanyakan anak perlu mengikuti kelas beberapa kali. Kalau anaknya menangis dan menolak namun tetap dipaksa, malah bisa membuat mereka merasa berenang menjadi hal yang tidak menyenangkan dan bisa-bisa trauma sama air. Saat kelas berenang ini, saya juga mendapati bahwa alat bantu pelampung justru menghalangi proses belajar Rara. Pernah saya bawa pelampung untuk bermain, namun akhirnya Rara malah bergantung dengan pelampung tersebut. Rara menolak untuk meraih tangan saya saat belajar meluncur, malah bersikukuh untuk pegangan ke pelampung. Saat tidak bawa pelampung, mau tidak mau Rara harus mengandalkan badannya sendiri dan tangan saya untuk pegangan. Tangan saya lebih bermanfaat untuk menjaga postur berenangnya agar tetap baik dan membantunya bergerak kesana-kemari. Kunci dari kecepatan belajar batita adalah mood alias suasana hati. Beberapa saat yang lalu moodRara sedang bagus-bagusnnya dan dia sangat senang berada di kolam. Dalam satu kali kelas berenang, saya berhasil membujuk Rara untuk meluncur tanpa support dan memasukkan kepalanya ke air atas kemauannya sendiri. Saya agak kaget juga dengan kemampuan baru itu. Ternyata kalau Rara sedang senang, mudah sekali mengajarinya. Begitu Rara tahu bisa melakukannya, malah ketagihan. Sepertinya Rara baru merasakan enaknya sensasi meluncur di air. Jadi hari itu Rara senang mencoba dan mencoba terus kemampuan barunya. Bagi Urban mama yang mempertimbangkan untuk mengikutkan anak ke kelas berenang, bisa lho melakukan sendiri proses pengenalan aktivitas berenang. Aktivitas yang bisa dilakukan sendiri antara lain bermain lempar-lempar dan mengejar bola plastik di kolam berenang, bermain ciprat-ciprat air dengan tangan atau gerakan kaki, mengalirkan air di kepala dan muka anak (bisa dengan tangan atau ember mini yang bagian dasarnya dilubangi), mencontohkan anak untuk meniup dalam air (mulutnya saja yang masuk air tetapi hidungnya di atas garis permukaan air, nanti lama-lama setelah terbiasa bisa diminta untuk memasukkan hidungnya juga), serta tiduran dengan posisi badan telentang lurus sambil disokong olet tangan Urban mama-papa. Last but not least, banyak yang perlu diketahui sebelum mengajarkan batita berenang. Selain banyak manfaatnya, ada juga batasan-batasannya seperti adanya risiko tenggelam, sensitivitas klorin dari kandungan klorin pada air kolam berenang, risiko hipotermia, hingga risiko kulit terbakar sinar matahari. I believe there are always advantages and disadvantages for everything, jadi silakan Urban mama menimbang baik-baik sebelum memutuskan untuk mengikutkan anak ke kelas berenang. Untuk menghindari risiko tersebut pada anak, penjagaan full time tentu adalah hal yang mutlak. Kalau kelas berenang dilakukan di kolam outdoor, selalu ingat untuk mengoleskan tabir surya ke kulit anak sebelum mulai berenang. Selain itu saya biasanya merasa cukup mengajarkan berenang 30 menit ditambah bermain-main sebentar selama 15 menit. Memang sih, sesekali pernah ada kesulitan untuk mengajak Rara mengakhiri aktivitas main airnya untuk memulai kegiatan belajar, yang akhirnya selesainya lebih lama dari waktu yang dijadwalkan. Pernah juga sampai kesiangan jadi udaranya cukup. Semoga pengalaman ini bisa menjadi bahan strategi di sesi belajar berenang selanjutnya. Referensi:
(Tulisan ini juga diunggah di theurbanmama.com) Akhirnya sampai juga kami ke akhir masa menyusui. Rara berhasil melewati masa-masa ASI eksklusif selama enam bulan dan terus menyusu sampai kini berusia dua tahun. Bagi saya menyusui itu tidak sekadar pemenuhan kebutuhan nutrisi dan imunitas. Menurut saya, menyusui itu:
Tak dapat dipungkiri, ada konsekuensi negatif dari membiarkan anak menyusu kapan saja, termasuk menjadi andalan saat mencari ketenangan. Rara selalu butuh menyusu untuk tidur, dan ini juga bisa menjadi sebab Rara malas makan. Karena ‘ketergantungan’ itu, terkadang saya menjadi tersandera saat mau beraktivitas yang butuh mobilitas. Ini juga menjadi kerepotan tersendiri jika saya harus meninggalkan Rara untuk urusan tertentu. Kakaknya, Raul, dulu tersapih di usia 2tahun kurang 1 bulan. Menyapihnya mudah, cukup hanya menolak menyusui selama 3 hari 3 malam berturut-turut. Setelah itu beres. Tapi 3 hari 3 malam itu benar benar pernuh perjuangan dan air mata. Menyapih anak benar-benar seperti melihat orang sakaw. Membuat patah hati. Saat itu saya merasa itulah yang terbaik yang harus dilakukan, daripada membohongi anak dengan berbagai cara. Tapi pada akhirnya, Raul mengalami apa yang selanjutnya saya baru tahu bahwa itu disebut sebagai regresi. Yang tadinya sudah tidak mengompol saat malam hari, lalu jadimengompol lagi. Saya tidak tahu ada hubungannya atau tidak, tapi Raul sangat tertutup dan takut dengan orang lain waktu itu. Jadi untuk Rara, saya berniat untuk melakukan Weaning With Love (WWL). Weaning With Love, saya artikan sebagai proses penyapihan yang membutuhkan persetujuan dan kesiapan psikologis dari kedua belah pihak. Ibunya siap, sudah tidak galau, anaknya juga sudah siap melepaskan diri dari menyusui. Proses ini akan terjadi sendirinya. Yang harus dilakukan hanya memperbanyak komunikasi dan membangun kesiapan anak untuk tahapan hidupnya selanjutnya. Proses menyusui adalah juga tentang pemenuhan kebutuhan psikologis pada fase tertentu, yang tidak secara ketat memiliki batasan umur. Jika pada usia 2 tahun sudah dihentikan sepihak, siapa tahu ada kebutuhan lain yang belum terselesaikan untuk dipenuhi. Namun, sebagaimana proses kelahiran yang terkadang harus mendapat intervensi karena mengalami komplikasi, sepertinya saya dan Rara juga mengalami ‘komplikasi’ tersebut. Rara adalah anak dengan tren pertumbuhan yang ada di bawah persentil terbawah kurva pertumbuhan WHO. Sejak lahir, panjangnya saja sudah termasuk ‘pendek’ (walaupun beratnya normal). Tingginya awalnya ada di garis persentil 3% (yang terbawah kalau menurut kurva WHO). Sedangkan beratnya agak sedikit di bawah persentil 50%. (garis hijau, yang tengah). Dalam perjalanan pertumbuhannya, beratnya berpindah ke persentil di bawahnya, lalu ke bawahnya lagi (sekarang di garis persentil 5%). Beberapa tes telah dilakukan. Menurut dokter, selama dua tahun ini tidak ada yang bisa dilakukan selain menjaga gizinya. Hal itu membuat saya mempertimbangkan kembali masalah Weaning With Love, karena nyatanya Rara memang makannya tidak teratur dan sedikit-sedikit minta menyusu. Harapan saya, kalau Rara sudah tidak menyusu, makannya akan menjadi normal. Tapi untuk menghindari penyapihan mendadak seperti yang Raul alami, saya memutuskan untuk melakukan penyapihan secara bertahap. Saya kurangi frekuensi menyusui Rara. Memang tidak berdasarkan kesediaan kedua belah pihak. Prosesnya makan waktu lebih lama. Tapi kalau saya perhatikan, prosesnya tidak sedramatis yang Raul alami. Kalau saya lihat Rara benar-benar butuh menyusu, akan saya berikan. Saya akan bertahan tidak menyusui jika Rara juga bisa mengatasi keinginannya sendiri setelah beberapa waktu. Ternyata memang ada saat-saat Rara tidak benar-benar perlu menyusu, tapi hanya kebiasaan iseng saja, dan ternyata mudah dialihkan. Memang proses ini membuat capek, tapi ada hasilnya. Alhamdulillah, mungkin sudah 1 bulan lebih Rara tidak menyusu lagi. Tidak ada drama memilukan. Payudara saya juga tidak pernah bengkak seperti yang terjadi waktu menyapih kakaknya. Harus diakui saya masih merindukan menyusu dan kadang-kadang Rara masih seperti mau minta. Setelah disapih, Rara makannya sekarang lahap sekali, kadang minta nambah berkali-kali dan pipinya juga makin berisi. Memang sih, belum terlalu nyata terlihat perbaikan di tinggi badannya. Mungkin perlu waktu saja. |
PENULISRika Widjono ARSIP
July 2020
KATEGORI |